By tundjung
Mari kita bicara. Lalu biarkan dunia menilai siapa kita.
Saya penulis yang lebih suka mengungkapkan sesuatu lewat dialog. Pelit narasi. Mengapa? Via dialog, saya membiarkan pembaca ambil simpulan sendiri.
Langsung contoh saja, yuk.
Tiga hari yang lalu saya menyapanya dan berbincang mengapa ia sering terlambat (ide dialog dari narasi bu @Noor Hayati )
Versi dialog A:
"Man, sini. Ibu mau tanya sama kamu."
Pemuda berbadan kekar itu mendekat. Kepalanya menunduk.
"Kamu terlambat lagi?"
"Iya, Bu. Maaf."
"Saya lihat akhir-akhir ini kamu sering terlambat. Kenapa?"
Herman tak menjawab. Dia justru semakin menunduk. Saya jadi memperhatikan rambutnya yang terlihat tak terurus. Gondrong dan kumal.
"Kamu sakit?"
Dia menggeleng.
Dst.
Dialog versi B
"Man, kesini!"
Muridku yang sering terlambat datang mendekat.
"Kamu terlambat lagi, ya? Seminggu ini sudah dua kali, lho."
Herman hanya terdiam.
"Kamu tuh ngapain aja. Pasti ngegame sampai malem. Iya, kan?"
"Nggak, Bu Guru."
"Halah. Ora usah ngapusi."
Dst
Dialog versi C
"Man, minggu ini kamu terlambat berapa kali?"
"Baru dua kali. Itu lo, Bu. Si Martin malah tiga kali."
"Wah, kamu itu lho, Man. Ditegur kok malah lapor."
"Saya nggak lapor. Fakta itu, Bu," jawab Herman sambil cengar cengir.
Itu dialog 3 versi. Antara bu guru dan Herman, sang murid. Tema sama: mengapa Herman sering terlambat?
Dari cara dialog A, B, C yang singkat, kelihatan kan tipe murid dan guru seperti apa?
Itu yang saya maksud dengan 'kekuatan dialog'. Mari kita bicara.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar