Minggu, 31 Mei 2020

Ruang Kosong; Ramadan Tanpa Tawa

Oleh: Dini Rahmawati

Malam kedua puluh lima Ramadan. Semua barang di rumah ini masih tetap pada tempatnya seperti setahun lalu. Hanya tembok putih yang memudar membedakan dari tahun sebelumnya. 

Sendirian saja Suti duduk di depan televisi empatbelas inci yang tak nyala. Di tangannya tergantung tasbih tergoyang perlahan sesuai alunan jemarinya. Mata terpejam namun tak tidur. Bibir bergerak pelan menyebut kebesaran Sang Maha Segala. 

Rumah besar ini terbiasa hening. Pada jam-jam tertentu saja dihiasi pembicaraan dua perempuan renta. Suti sang pemilik rumah dan Tut yang menumpang di satu kamar rumah lawas itu.

"Bu Tut, kangen itu bagaimana rasanya ya?" tanya Suti suatu pagi pada Tut.

Tut yang mendengar pertanyaan mendadak itu tersentak. "Kangen? Ibu belum pernah kangen?"

"Ya pernah. Maksudku kangen cucu." Suti meralat.

Tut makin heran. Dia tidak begitu saja menjawab, tapi malah kepalanya memutar sebuah kenangan. Seorang bocah laki-laki gemuk seumur lima tahunan menggelayut badannya. Seketika itu hatinya menjerit. "Ah, ibu tidak tahu rasanya kangen cucu?" Tut makin keheranan.

"Bukannya tidak tahu, tapi belum pernah." Jawab Suti singkat sambil matanya menerawang keluar jendela dan tertumbuk pada ujung pohon murbei yang di salah satu cabangnya terdapat sarang burung gereja.

Tut hanya terdiam mendengar pengakuan itu. Hatinya terbang separuh. Bocah laki-laki gemuk yang menggelayut menarik tangannya mengajak berlari. Lalu pegangan tangan itu lepas dan hilang. Bayangan itu hilang dalam sekali kedip mata. Tut teringat cucunya yang terpisah tigabelas tahun lalu. 

Bagaimana rupa anak itu sekarang? Akankah Rehan masih mengingat neneknya? Atau pernahkah anak itu menyimpan rindu serupa rindunya? Batin Tut hanya bisa menduga-duga.

Dia menyimpan lapis demi lapis kerinduan setiap harinya di buku-buku hati. Menjaganya dalam sampul harap setiap saat yang tak tahu akan dikabulkan atau tidak. Lalu menutupnya rapat-rapat dalam dekap doa di dada.

Dia masih ingat betul detik-detik perpisahan itu terjadi. Rehan yang saat itu berumur lima tahun dibawa pergi ibunya secara tiba-tiba beberapa pekan setelah kematian Heru, anak Tut satu-satunya. Pergi tanpa pamit, tanpa pesan dan tanpa jejak. Meninggalkan Tut sendiri di rumah kontrakan kecilnya.

Tut yang sebatang kara menuju senja tidak punya lagi apa-apa. Petak kontrakan tak bisa diteruskan sewanya karena tak ada uang untuk membayarnya. Kios bensin eceran Heru juga tak bisa Tut teruskan usahanya. Apa yang bisa Tut lakukan hanyalah bertahan dengan mencari orang yang mau memakai tenaganya untuk membersihkan rumah atau apa saja. Itu pun tak serta merta membuat orang mau memakai jasa tenaganya karena tak jarang justru mereka jatuh iba melihat kondisi Tut yang sudah tak kuat lagi.

Kabar itu didengar oleh Suti, bekas juragan kerupuk yang kini punya banyak kontrakan yang rumahnya di dekat persimpangan desa. Suti menyuruh Mutin, pembantu lepasnya memanggil Tut. Mutin pun bergegas ke kontrakan Tut. Dia tak ingin majikannya menunggu lama yang artinya akan ada banyak omelan masuk ke telinganya.

Dengan takut Tut mendekat Suti yang sudah menanti di teras. "Bu Tut, mulai besok njenengan di sini saja menemani saya. Nanti biar dibantu Mutin pindahannya. Kamarnya njenengan di samping timur belakang itu." Kalimat Suti lebih mirip perintah yang tak ada seorang pun berani membantah. Bagi Tut ini rejeki. Meski banyak orang tidak betah tinggal bersama Suti yang keras dan galak, Tut tetap akan bertahan. Mau ke mana lagi aku tinggal? batinnya.

Suti memberi kesibukan Tut dengan menjual bensin eceran di depan rumahnya. Secara berkala dia menyuruh Barjo, tukang ojek pangkalan seberang jalan untuk membeli ke pom bensin. Sepasang perempuan renta itu makin akrab tiap harinya. Suti yang beraura angker tidak memberi jeda dengan Tut dalam keseharian.  `

Meski tak jarang Suti marah karena ada sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya dan Tut menjadi tempat gerutuan, Suti cepat melupakan dan cepat baikan. Meski banyak hal yang mengganggu hati Tut ketika Suti yang uring-uringan sendiri, Tut tetap bertahan. Bertahan hingga beberapa putaran ramadan.

Rindu Tut pada cucunya agak reda tatkala jelang lebaran. Ketika anak dan cucu Suti berdatangan dari kota. Ada satu cucu laki-laki Suti yang seumuran cucunya. Cukup menatap dan menyapa anak bernama Ndaru yang murah senyum itu hati Tut sudah senang. Apalagi ketika anak itu mau berbagi cerita dengannya.

Namun Tut sering merasa heran pada sikap Suti yang justru biasa saja dengan kehadiran anak-anak menggemaskan itu. Bahkan sesekali Suti teriak menyuruh mereka diam kalau anak-anak itu tertawa lepas saat bercanda. Suti tidak suka bising. Mungkin tepatnya tidak terbiasa. Rumah besar ini sering sunyi, yang itu sudah menjadi sahabat Suti. Keheranan Tut itu makin tebal ketika Suti bertanya bagaimana rasa rindu pada cucu. Meski begitu, dia paham sekali setelah sekian tahun mengenal Suti bahwa cinta Suti pada cucunya sangatlah besar.

Tut hapal sekali tabiat Suti saat ramadan tiba. Suti akan mengundang tukang untuk mengecat seluruh tembok rumahnya. Lalu Mutin disuruhnya membuat kue-kue dan aneka jajanan. Tak lupa membuat tape ketan kesukaan anak bungsunya. Mengganti seluruh gorden dan sprei di tiga kamar besar untuk tiga anaknya dan anak-anak mereka. Semua dilakukan sebagai persiapan lebaran bersama anak cucunya. Hal yang tidak dipunyai Tut.

Tapi semua itu tidak terjadi pada ramadan tahun ini. Semua berbeda bahkan sejak sebelum masuk ramadan. Tidak ada cat tembok baru. Jajanan sekadarnya. Tidak ada tape ketan. Gorden dan sprei juga tidak ganti yang baru. Anak-anak Suti sudah jauh-jauh hari memberi kabar kalau dengan terpaksa tidak bisa pulang pada lebaran nanti.

Seumur hidup Suti tidak pernah berlebaran tanpa anak-anaknya. Mereka tahu apa keinginan sederhana ibunya. Yaitu anak-anaknya bisa pulang kampung saat lebaran dengan membawa mobil sehingga halaman depan rumah yang luas itu terisi tiga mobil berplat luar kota. Satu kebahagiaan tersendiri bagi hati tua perempuan yang telah berjuang sendiri sepanjang hidupnya. Hati yang telah kehilangan banyak hal di hidupnya.

Lima hari lagi lebaran. Suasana ramadan pada hari-hari terakhir biasanya sudah ada tawa riang anak-anak di rumah ini. Ada bau-bau masakan ketiga menantu Suti yang rukun-rukun. Ada senyum Suti di sela cerita ketiga anak lelakinya.

Namun, semua itu kini hanya harapan yang menguap. Kenyataan adalah dia sendiri di ruangan ini. Berteman detak jam yang bersuara lemah. Dinding putih pudar menggemakan tawa riang anak-anak. Kadang ada jeritan dan tangisan. Mengeras dan melemah. Tangisan bocah yang sangat tidak disukainya. Tapi kini dia sangat ingin mendengarnya. Tangisan, jeritan dan tertawa para cucu.

Tasbih di tangannya bergoyang makin kencang. Bibir sepuh itu tetap membisikkan kesucian Allah. Mata renta itu tetap terpejam. Kemudian gerimis membasahi bulu-bulu mata. Dan ada satu ruang kosong di dalam sana berkata: jadi inikah rasanya rindu?

(Ramadan 1441 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar