Kamis, 28 Mei 2020

Masa Kecilku

(Autobiografi)
Oleh : Juliyah

Masa kecilku tinggal di samping rumah kakekku, sebuah  rumah  semua terbuat dari bambu. Ayahku bertekad hidup mandiri, walau umumnya awal rumahtangga jadi satu mertuanya. Hingga adikku keempat lahir di rumah itu. Aku tidak pernah mengenyam pendidikan pra-sekolah (taman kanak-kanak) di samping lokasinya yang jauh dari rumah, kerepotan orang tuaku menjadi alasan untuk tidak menyekolahkan TK. Juga tidak lazim anak-anak di lingkunganku sekolah sejak dini, umumnya langsung masuk SD.

Masa bermain tak begitu kunikmati, karena beban mengsuh adik-adikku cukup mendominasi ketimbang bermain dengan anak seusiaku. Meskipun demikian bermain tetap kulakukan walau nyambi momong adik-adikku. Bergelantungan di pohon kelengkeng bersama teman, aku sebagai guru dan lainnya sebagai murid, lebih dominan kuperankan. Akhirnya menjadi diriku hingga kini.

Pagi-pagi ayah dan ibuku pasti sudak ke sawah, entah petik bunga atau sayur bablas dijual di pasar, atau sekedar merawat tanaman hingga matahari sepenggalah baru pulang ke rumah, untuk segera menyiapkan makan buat keluarga. Segera setelahnya mereka berdua kembali ke sawah, sebagai aktifitas rutin setiap harinya. 

Aku dan adik-adikku  kurang terawat, kurang gizi dan kurang terjaga kebersihannya. Cacingan menjadi langganan di masa kecil kami hingga adikku keempat. Tenaga medis dari puskesmas sering datang ke rumah untuk memberikan penyuluhan KB kepada ibuku, tetapi kebanyakan ibu saat itu lebih memilih nglungani (menghindar) ke sawah. Mungkin prinsip banyak anak banyak rejeki sudah terpatri di hati mereka para orang tua saatu itu. Begitu pula jika ada pemeriksaan kesehatan, anak-anak cenderung takut dan sembunyi. Termasuk takut minum obat jika sakit.

Aku tinggal di lingkungan ini hingga aku kelas dua SD, selanjutnya ayahku mengajak kami pindah dan  membuat rumah baru di atas tanah sebelah nenek Yasmi (nenek dari ayah). Kebetulan ayah membeli rumah jati yang bisa dibongkar dan dipasang kembali. Sepertinya ada hubungan yang retak antara ayah dan kakekku dari ibu, yang menyebabkan ayahku pindah di RT 1 di samping Nenek. 
Komunikasi antara ayah dan ibu juga mulai tidak harmonis. Ibuku mengajukan cerai ke Pengadilan Agama di Ungaran saat itu,  ibuku pulang ke rumah kakek mengajak Dik Rebiyati dan Wakit.  Sedang aku dan Saryadi, adikku yang ketiga bersama ayah di rumah baru, walau rumah itu tidak sempurna, tetap saja kami huni dengan senang hati. 

Selama ayah dan ibuku proses cerai ( purik), di rumah ayah, akulah yang melakukan segala pekerjaan rumah, membantu di sawah, jual sayur dan bunga potong ke pasar Bandungan dengan berjalan kaki sejauh 1 km. Aku tetap sekolah sebagaimana anak lainnya. Saat itu aku baru kelas 3, seharusnya kelas 4 karena pernah tinggal kelas. Awalnya terpaksa selanjutnya menjadi biasa. 

Ibuku yang buka meja (gugat cerai) tetapi ayah tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya. Alhamdulillah Pengadilan Agama tidak mengabulkannya. Akhirnya ayah dan ibuku rujuk dan lahirlah Soleh, adikku kelima.kelima dari adikku. 

Aku, hingga adikku ketiga  mengenyam pendidikan dasar di SD N Jetis 01 Kecamatan Ambarawa kala itu.sedangkan adikku keempat dan kelima sudah di SD Jetis 02 karena ada proyek SD Inpres jaman rezim Soeharto sebagai respon baby boom saat itu. Aku tidak mengenyam pendidikan pra-sekolah (Taman Kanak-Kanak saat itu, meskipun ada RA(Raudhotul Athfal) setingkat TK di bawah Departemen Agama dekat SDku. Umur 7 tahun aku baru dimasukkan SD sesuai aturan, karena tidak melalui pemanasan di TK seperti umumnya anak sekarang.  

Guru-guruku  rata-rata produk penjajah dengan gaya mengajar yang seram dan menakutkan. Penampilan guru kelas 1 identik pegang kapur dan tuding (bambu seukuran panjang 1m dan diameter kira-kira 1cm) saat mengajar. Lagu Siji Loro Telu adalah lagu wajibnya setiap hari. Hingga semua siswa tak berkutik dibuatnya.

Jika anak tidak patuh terhadap suatu hal, bisa dipastikan bambu itu mendarat di bagian tubuh tertentu dari siswa, baik terlambat, kuku tidak dipotong, atau ramai saat kegiatan belajar mengajar. Termasuk aku di dalamnya, kerap mendapatinya, apalagi aku sering terlambat, bangun kesiangan, perjalanan cukup jauh dari rumah ke sekolah dan karena takut luar biasa akan hukuman itu, aku memilih manangis hampir setiap kesiangan dan tidak masuk sekolah. Alhasil aku harus tinggal kelas. Alhamdulillah aku cukup termotivasi oleh salah satu guru  untuk mengulang dan akhirnya hampir di setiap kelas selanjutnya justru mendapat peringkat tiga besar.

Saat di kelas 5 aku pernah diikutkan lomba cerdas cermat tingkat kecamatan Ambarawa bertempat di SD Lodoyong 1, komplek kavaleri, karena lawan tidak datang maka aku dianggap pemenang. Begitu maju babak berikutnya, aku kalah karena tanding tanpa bekal memadai. Hal itu pun cukup menjadi kenangan indah saat aku SD.

#SHSB2
#Hari-hari Menginspirasi Kebaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar