By : Rohani Panjaitan
Seuntai pesan melalui aplikasi hijau menghiasi gawai. Pesan dari seorang teman baik di ibukota propinsi.
"Bisa minta tolong, gak?"
"Apaan?"
"Bikinkan kue lapis buat acara setahunnya Mama."
Sebenarnya, aku sudah memproklamirkan diri pensiun dini dari tukang kue. Tepatnya sejak harus fokus dengan bayi mungil yang unyu, ditambah lagi dengan rezeki pak bojo yang sedang sakit. Praktis selama ini, diriku sudah tidak menerima orderan dalam bentuk apapun. Tapi pesanan teman yang satu ini memang berat untuk ditolak, karena temanku ini orangnya baik banget, terlebih aku juga kenal dengan Sang Mama.
Setahun yang lalu, mamanya temanku ini berpulang ke haribaan Sang Khalik. Aku mengenal baik Sang Mama. Kami pernah bertemu dua kali. Wanita dengan usia sekitar 75 tahun, tapi penampilannya masih cukup segar dan terawat. Aku biasa memanggil beliau ibu. Panggilan netral yang sopan untuk berbagai kalangan.
Walau menjalani hidup dengan gaya modern, tapi Sang Mama merupakan penikmat kuliner tradisional, salah satu favoritnya ya kue lapis. Melalui temenku, pernah beberapa kali, kutitipkan hasil kreasi mandiri untuk Sang Mama. Beliau menikmatinya, bahkan menurut sang anak, mamanya suka banget dengan lapis buatanku.
Namun begitu, temenku juga jujur berujar kalau Sang Mama tidak terlalu suka dengan paduan warnanya (saat itu aku menitipkan lapis rainbow). Sebagai produk zaman dulu, beliau lebih cenderung dengan tampilan klasik, perpaduan warna putih coklat moka, atau kuning hijau pandan.
Saat kami bertemu, kue lapis menjadi salah satu bahasan yang terselip di antara perbincangan panjang kami.
Ternyata menurut Sang Mama, beliau menyukai kuliner tradisional yang legendaris ini, bukan melulu karena rasanya yang legit, melainkan karena filosofi yang terkandung di baliknya.
Walau adonannya sangat simpel, namun proses pembuatan kue lapis memang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang maksimal. Saat memasukkan lapisan demi lapisan, kita harus benar-benar yakin bahwa lapisan yang akan ditimpa oleh adonan baru sudah matang paripurna, karena kalo belum, bisa dipastikan sampai proses berakhir, lapisan tersebut tetap dalam kondisi mentah walau di atasnya telah tertata lapisan demi lapisan lainnya. Pun jangan sampai terlalu matang, karena kondisi ini bisa menyebabkan lapisan "ambyar", tidak menyatu, sehingga saat dipotong hasilnya jadi kurang bagus.
Dengan proses yang demikian detail kemudian berubah wujud menjadi pangan legit yang indah dipandang mata, Mamanya temanku menggambarkan hal ini sebagai satu perjalanan hidup.
Hidup itu rumit, penuh tantangan dan ujian. Kita harus pintar-pintar menjalaninya. Kalau kita berhasil melalui semua ujian hidup yang terbentang di depan mata, Insyaa Allah kita akan merasakan kenikmatan yang sesungguhnya dari tiap gigitan kecil, meresapi tiap lapisnya sendiri. Manis, gurih, dan legitnya nyata. Pelajaran hidup yang sangat makjleb.
Dan kemarin, dua ratus potong lapis tenun, terkirim ke Semarang, untuk acara setahun berpulangnya seorang ibu bijaksana yang begitu Njawani. Al-fatiha.
Note : Photo lama, karena hasil kemarin gak sempat diphoto, keburu dijemput pemesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar