Oleh Indah Zein
Tiba-tiba hatiku lesu. Kecewa menjalar dari ujung telinga hingga ulu hati. Mungkin hanya perasaan dari sudut pandangku saja, kalimat datar meluncur dan mengubah suasana mendung. Maklumlah kedatangan tamu bulanan. Jadi rada sensitif telinga dan perasaan. Biasanya kalimat yang keluar dari mulutnya seperti mutiara dengan figura kaligrafi dari emas 24 karat. Namun kacau benar. Aku kesetanan. Bisikan busuk muncul seperti kolom google. Sekali ketik search, kawanan muncul. Racun-racun beranak pinak. Pipiku basah. Perasaan seakan mau meledak.
Lewat solat subuh, setelah sahur. Waktu yang teramat menggoda rasa kantuk. Ditambah mata yang telah dipaksa terbuka semalam karena tanggal ganjil sepuluh hari Ramadhan. Sosok gagah itu merebahkan diri. Aku mulai memanggilnya pelan.
"Mas,..." Tanganku sibuk merapikan mainan berserakan di seluruh ruangan. Bolak-balik. Melongok ke bawah meja dan kursi.
"Hemm..." Jawabnya singkat. Tanpa ada gerakan berarti. Posenya tidur persis seperti bungsu. Angkat tangan dan selonjor kaki, bebas merdeka.
"Mas, punya simpanan untuk bayar kredit motor bulan depan?"
"Ya enggaklah. Kan aku nggak kerja." Enteng. Tanpa beban. Benar. Dia telah dua bulan dirumahkan.
"Aku mau jualan kue. Tapi kalau semua pekerjaan tak ada yang bantu. Ya, aku capek kelimpungan. Mas sibuk mengurus kebun dan sawah. Semua urusan anak, aku yang selesaikan. Kan aku capek." Curhatku dengan nada serendah mungkin. Keluar lagi anak sungai hangat tak diundang.
Kangmasku diam. Seperti biasa. Ia pasti tak bersuara saat aku curhat. Ia tahu aku jengkel. Dan membalas jengkel juga tak ada guna.
Wajahnya berubah rona. Ia mendekatiku yang sibuk menguleni adonan di dapur. Hupf... Target tilawah dan target membahagiakan istrinya. Target Lailatul Qadar dan target kerja. Perlahan kami uleni bahan kue kacang dengan cinta.
Baiklah. Ngedate kami di pandemi sudah mulai. Membuat kue kacang. Step satu sangrai dan kupas kacang. Step dua giling kacang (khusus ini, tugas untuk suami) gilingan kami tradisional, lumpang dan alu. Step tiga, campur tumbukan kacang dengan tepung, gula, garam, minyak goreng. Uleni hingga kalis. Diamkan satu jam di pendingin, baru cetak dan oven.
Sabar benar suami ini. Lihat istrinya cemberut dan sumbang ia segera ambil gerakan penghalau jin perusak mahligai pernikahan. --Eh, bukannya setan telah dibelenggu di bulan ini? Mungkin bisikan di hatiku tadi, anakannya, hehe.-- yah, intinya ia segera angkat senjata untuk berperang. Maju mencari solusi. Bergerak menuju cintanya.
Pagi ini kue kacang tanah merekah. Dilapisi kuning telur dan keju. Aku bagaimana? Mendung hilang. Mentari menyembul sempurna. Ah, tak mampu digambarkan. Makhluk-makhluk kecil manis ini keluar berombongan dari oven panas.
Kue telah matang. Kura-kura menyelinap di ujung meja. Pink dan oranye. Ada tombol putar di pinggirnya. Cantik. Mainan kecil yang masih kuawetkan. Terima kasih hewan kecil. Masa ini memang berat bagi jutaan orang. Sama halnya dengan tempurungmu. Namun kau tetap sabar. Beban punggungmu berat. Kau tak mengeluh. Beban menjadikan kau fokus, bergerak perlahan dan pasti.
Virus kecil ukuran nano berubah menjadi tempurung berat bagi kami. Tetap melangkah. Tetap manis bersama kue kacang. Cinta akan membuat kita kuat. Sekuat kura-kura dan tempurungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar