Selasa, 26 Mei 2020

AKU ANAK SEORANG BURUH TANI

 Autobiografi  oleh Juliyah

Aku terlahir  setengah abad yang lalu, tepatnya 15 Juli 1970. Namaku cukup fenomenal “Juliyah”, ya sesuai bulan kelahiranku. Itu pertanda ayahku seorang yang kreatif, khususnya dalam memberi nama anak-anaknya, walau hanya satu kata saja. 

Rata-rata anak yang terlahir di tahun itu hanya punya nama satu kata. Tidak hanya aku, keempat adikku pun namanya cukup fenomenal, baik berdasarkan fenomena hari, pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing maupun meniru nama orang lain yang menginspirasi. Yang jelas ada doa yang tersirat dalam nama itu. 


Ayahku bernama Soejatno (baca Suyatno) seorang buruh tani yang hanya tamatan SR (sekolah Rakyat) waktu itu.Meskipun beliau sekalipun belum pernah menunjukkan ijasah kepadaku. Mungkin sudah dijual, entah kepada siapa yang membutuhkan. Memang waktu itu hal yang biasa jual beli dokumen pribadi. Tidak dianggap sebuah masalah yang berarti. Tapi aku percaya bahwa beliau tamat SR. 
Ayah tamat SR lebih beruntung daripada ibu yang tidak tamat SR.

Ibuku sernama Soemidjah (baca Sumijah) ejaan lama, keduanya nama versi sebelum EYD. Ibuku tidak tamat SR, naik kelas lima  langsung DO hanya gegara disuruh menjaga adiknya yang sakit-sakitan, beliau rela tidak melanjutkan sekolah. Maklum, saat itu orang desa tidak menganggap penting  pendidikan. Bisa membaca dan menulis itu sudah luar biasa. 


Aku lahir dan menghabiskan masa kecilku hingga tamat SMP di sebuah desa di kaki Gunung Ungaran, tepatnya Dusun Ngasem, Desa Jetis Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.Itu sebelum terjadi pemekaran wilayah. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bandungan Kabupaten yang sama. Sebuah desa dekat dengan salah satu  icon wisata Kabupaten Semarang, yakni Bandungan.  


Aku anak pertama dari lima bersaudara. Adikku nomor dua namanya Rebiyati lahir hari Rabu, tahun 1972. Adik ketiga bernama Saryadi lahir pada hari Selasa Kliwon tahun 1975. Adikku keempat bernama  Wakit lahir hari Jumat Wage tahun 1977  dan yang terakhir Soleh, lahir hari Selasa Kliwon juga tahun 1979. Menurut cerita ayah, adik bungsu  diberi nama Soleh karena terispirasi oleh Mbah Haji Soleh kampung sebelah yang memiliki sawah luas dan kerbau yang banyak, mungkin itu doa ayahku.

Aku, hingga adikku ketiga  mengenyam pendidikan dasar di SD N Jetis 01 Kecamatan Ambarawa kala itu.sedangkan adikku keempat dan kelima sudah di SD Jetis 02 karena ada proyek SD Inpres jaman rezim Soeharto sebagai respon baby boom saat itu. Aku tidak mengenyam pendidikan pra-sekolah (Taman Kanak-Kanak saat itu, meskipun ada RA(Raudhotul Athfal) setingkat TK di bawah Departemen Agama dekat SDku. Umur 7 tahun aku baru dimasukkan SD sesuai aturan, karena tidak melalui pemanasan di TK seperti umumnya anak sekarang dan guru-guru jaman itu rata-rata produk penjajah dengan gaya mengajar yang seram dan menakutkan.

 Penampilan guru kelas 1 saat mengajar adalah pegang kapur dan tuding (bambu seukuran panjang 1m dan diameter kira-kira 1cm). Jika anak tidak patuh terhadap suatu hal, bisa dipastikan bambu itu mendarat di bagian tubuh tertentu dari siswa, baik terlambat, kuku tidak dipotong, atau ramai saat kegiatan belajar mengajar. Termasuk aku di dalamnya, kerap mendapatinya, apalagi aku sering terlambat, bangun kesiangan, perjalanan cukup jauh dari rumah ke sekolah dan karena takut luar biasa akan hukuman itu, aku memilih menangis hampir setiap kesiangan dan tidak masuk sekolah. 

Alhasil aku harus tinggal kelas. Alhamdulillah aku cukup termotivasi oleh salah satu guru  untuk mengulang dan akhirnya hampir di setiap kelas selanjutnya justru mendapat peringkat tiga besar.

Saat di kelas 5 aku pernah diikutkan lomba cerdas cermat tingkat kecamatan Ambarawa bertempat di SD Lodoyong 1, komplek kavalery, karena lawan tidak datang maka aku dianggap pemenang. Begitu maju babak berikutnya, aku kalah karena tanding tanpa bekal memadai. Hal itu pun cukup menjadi kenangan indah saat aku SD. 

Di kelas 5 dan 6, banyak kegiatan lomba Desa yang sangat menyita kegiatan pembelajaran, seperti memperindah sekolah dengan bunga-bunga hias, menganyam tambang untuk gantungan bunga, memnganyam bamboo untuk blongsong klengkeng, karena icon buah di kampungku saat itu adalah klengkeng. Harus rekaman video ala teknologi saat itu, masuk TV adalah hal yang sangat menyenangkan dan membanggakan, apalagi Lomba Desa menjuarai nomor 2 Tingkat Nasional. Cukup spektakuler di tahun 80-an. 

Tujuh kampung dalam satu kelurahanku menjadi tertata rapi. Satu-satunya prasasti yang masih tersisa hari ini adalah bentuk gapura masuk kampung yang sama. 
Kondisi Lomba Desa yang berkelanjutan dari tingkat Kabupaten hingga Nasional, cukup berefek pada kualitas pembelajaran yang tidak maksimal. Ketika mau melanjutkan ke SMP Negeri saat itu harus bersaing ketat dengan tamatan SD lain yang favorit. Alhasil dari SDku hanya 3 anak yang masuk di SMP N 1 Ambarawa, aku dan kakak sepupuku salah duanya yang diterima. 

Ayahku seorang petani penggarap. Punya lahan tak seberapa, kerap kali ayahku menyewa sawah untuk menanam bunga potong  dan sayur mayur. Sebuah keberuntungan tak terkira bahwa ada seorang tuan tanah yang menawarkan sawahnya untuk digarap Ayah. Hal itu berlangsung bertahun-tahun. Beliau salah satu guru di yayasan Nasrani di Bandungan, atas kampungku.

Setiap hendak menanam ayahku pasti ke kediamannya, dan aku sebagai sulung, paling kerap diajaknya bertransaksi, terkait tanaman apa yang hendak Ayah tanam, perhitungan musim dan perkiraan bea maupun prediksi panennya. Atau sebaliknya setiap panen si pemilik tanah datang ke rumahku, untuk menyaksikan proses menuai padi sekaligus mengambil bagi hasilnya. Semua itu menjadikan pengalaman dan pelajaran yang sangat berefek di masa dewasaku.

Ada peristiwa tak terlupakan, terkait kehidupan keagamaanku masa kecil. Masa SDku belum ada listrik. Listrik hadir menerangi setelah beberapa saat aku duduk di bangku SMP. Masa kecilku biasa ngaji dengan penerangan lampu teplok, gembreng atau petromak, semua berbahan bakar mintak tanah. Ngaji tak berhasil bisa membaca Al Quran, karena tidak konsisten datang ke guru ngaji gegara sering ada teman usil menakut-nakuti jenis  hantu tertentu di tempat tertentu. 


Saat panen tiba, pemilik tanah datang ke rumah, sambil melahap hidangan ala kampong, beliau yang seorang guru SMP di Yayasan Non Islam bererapa kali menawarkan agar aku melanjutkan sekolah di lembaganya saja, dengan alas an cukup sederhana yang tidak perlu transport dibandingkan ke SMP N 1 Ambarawa. Ayahku hanya menjawab, terserah anaknya nanti maunya di mana?.

Di SDku, karena SD Negeri, agama yang dianut guru juga heterogen, meskipun semua siswa beragama Islam. Namun kebanyakan yang sekolah di SDku adalah yang mayoritas abangan (anak-anak yang mayoritas belum bisa mengaji), sedangkan yang agamis, sudah otomatis masuk di MI Al Anwar satu kampung dengan SDku juga. 

Suatu hari, pembelajaran di kelas 6 tanpa kehadiran guru kelas, karena sakit. Seorang guru perempuan berparas cantik masuk ruangan dan memperkenalkan diri secara detail, termasuk agama yang dianutnya.

 “Anak-anak, perkenalkan nama Bu Guru Hastuti, Alamat Ambarawa, agama tidak sama dengan anak-anak. Agama Bu Guru Katolik, Tuhannya ada tiga, Allah Bapa yang di surga, Tuhan Yesus atau Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus, tetapi meskipun tiga tetap percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Soal ibadahnya , enak sekali hanya satu minggu satu kali di gereja, tanpa bersusah-payah seperti anak-anak, setiap hendak sembahyang harus mengambil air wudhu”. 

Dalam benakku sebagai seorang anak SD, tanpa berpikir logika saat itu, kesimpulannya : _kok enak sekali ya, ah besok kalau aku SMP aku mau pindah Katolik seperti Bu Tuti._Betapa saktinya ucapan seorang guru,walau kebenaran harus tetap dibuktikan

Kakek dan nenek dari ayah dan ibuku ternyata masih berbau saudara meskipun mereka bukan mahram . Aku kurang begitu paham awunya, kata ayahku beliau berdua sepupuan. Yang aku tahu kakek dari ibu adalah seorang modin di kampungku. Modin dalam arti luas adalah pemimpin agama (Islam), sedangkan dalam arti sempit adalah orang  yang tugasnya memimpin doa selamatan, sertifikasi penyembelihan binatang sembelihan (ayam dan unggas lainnya, kambing, sapi dan kerbau ), nyadran, metokke  maupun acara adat lainnya. Namun yang aku saksikan saat kakekku menyembelih ayam/menthog, darah yang mengucur ditadah pakai batok kelapa, selanjutnya digoreng buat lauk ( namanya saren atau dhidheh). Halal haram  sebagai bagian dari ilmu agama belum menjadi prioritas kebutuhan saat itu. 

Nenek  hanya membantu kakek yang sama-sama menjadi petani bunga potong , sayur-mayur dan palawija. Bunga potong merupakan komoditi bagi event susah (orang meninggal) buat rangkaian bunga dan orang senang ( menikah) sebagai dekorasi. Saat itu bunga potong yang ditanam masih sangat sederhana, ada dahlia, aster, ambring, gladiol, keningkir, dan sedap malam. Kondisi demikian, wajar jika nenek sering berdoa 

“Ya Allah, muga-muga ana gajah nglempuruk, Aamiin”

Inti doa itu meminta agar ada orang besar (pejabat) meninggal agar ujung-ujungnya bunga potongnya laku. Semoga Allah mengampuni beliau. 

Tidak seperti sekarang ini, ada bunga krisan yang butuh modal besar untuk bea fotosintesis di malam hari (menggunakan lampu).
Sayur mayor yang ditanam hanya seputar sawi, bayam, boncis, kacang panjang, cabe, lobak, tomat dan daun loncang. Itu pun tak semua diuangkan (dijual), yang ditanamnya hanya sedikit sebagai tumpangsari, lebih cenderung untuk konsumsi sehari-hari.  

Palawija menjadi selingan saat musim kemarau tiba, karena kebetulan salah satu lahan yang dimiliki Kakek, ada di lahan tadah hujan, yang tidak cukup produktif di musim kemarau. Jagung, ubi dan singkong adalah andalan komoditi untuk menyambung hidup saat itu. 
Gambaran makan nasi jagung dan sego gronjol  saat aku kecil adalah menu harian yang sangat dinanti oleh perut yang lapar di saat paceklik. Itu pun masih lama menunggu proses bagaimana jagung itu disosoh dan dibuat tepung menggunakan lesung atau lumpang dan alu penumbuk.

Sesekali aku pun ikut menumbuk dan merasakan betapa berat dan susahnya sekedar mau makan sego jagung. Pembuatan thiwul pun melalui proses penumbukan yang hampir mirip dengan pembuatan sego jagung, hanya saja terbuat dari singkong mentah yang diparut dan dikeringkan sebelum ditumbuk menjadi tepung. Begitu pula saat panen padi, hal yang sama adalah menumbuknya dengan cara yang sangat tradisional dengan alat dan sarana yang sama. Mau makan sego beras dari hasil panen sendiri atau derep (upah membantu memanen padi di lahan tetangga dengan rumus tertentu, misal setiap 12 piring gabah dapat upah 1 piring gabah) begitu seterusnya. Hal itu karena sama sekali belum ada penggilingan padi atau mesin selep tepung seperti sekarang ini. 

Sebagai salah satu cucu aku termasuk yang dinilai paling dekat dengan mereka, oleh Pakdhe dan Paklik saya, terutama kakek, hingga beliau berpulang tahun 1987 silam. 

Ambarawa, 27 Mei 2020

#SHSB 
#Hari-hari Menginspirasi Kebaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar