Sinopsis.
Bagai sebuah petualangan yang menegangkan bagi Miranti. Dia yang mendapat job menjadi narasumber workshop di sebuah hotel berkonsep heritage ini harus mendapatkan sederet teror yang tak menyenangkan. Dari mulai kamar mandi yang tiba-tiba tak bisa dibuka, telpon tengah malam, hingga kedatangan perempuan misterius yang mendadak meminta ijin menumpang tidur. Siapa sebenarnya perempuan itu? Lalu, siapa pula Hannah van Eiken?
Kamar 2204
(Part 4)
Oleh: Tirta Ns
Lagu itu, dengan irama yang sangat tak asing bagiku, benar-benar nyata di telingaku saat ini. Ini tahun 2020, Bung, dan masih ada seorang perempuan menyanyikan lagu ini dengan Bahasa Belanda?
Perempuan itu memakai rok panjang sedikit mengembang dengan bahu offshoulder. Rambutnya yang pirang dikelabang rapi dalam dua ikatan. Matanya biru. Dia nampak menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Matanya menerawang. Sesekali dia menggesekkan biolanya yang menghadirkan suara menyayat...
Tiba-tiba aroma wangi menyergapku. Serupa hipnotis yang tak mampu kutolak dengan otak dan akal pikiranku, kantuk menyerangku. Sungguh kutak bisa menahannya.
Dan aku melihat perempuan itu berdansa... taman yang indah ... suasana asing yang tak pernah kutemui sebelumnya....
Aku di mana ?
Taman ini, taman yang begitu asri. Ada beberapa pohon angsana yang memayungi pelataran nan luas itu dari sengatan matahari. Di sudut yang lain ada palem raja yang bersanding dengan beberapa jenis bunga yang lain, yang tak aku hafal pula namanya. Hanya sepintas kulihat ada nusa indah, flamboyan, juga beberapa bunga mawar yang sedang mekar, bunga melati, dan juga lili.
Aku tak bisa menceritakan taman itu terlalu detail padamu. Tetapi yang pasti, di taman yang juga dilengkapi dengan sebuah kolam ikan mini itu, semua nampak teratur rapi. Aku yakin, itu karena tangan si pemilik rumah yang ‘dingin’, atau kerja si tukang taman yang terampil merawatnya. Taman itu, sungguh elok.
Memijak kakiku setengah ragu, menuju sumber suara yang seolah memanggilku. Ya, lagu itu masih menyayat pilu. Bukan, ini tak didendangkan serupa tembang waktu adegan film Sugijopranoto yang fenomenal itu. Iringannya bukan ukulele. Tapi serupa biola, atau ah, ya, itu akordeon. Alat musik yang konon diciptakan seniman Jerman bernama Christian Fried di tahun 1822. Lama sekali aku tak lagi mendengar melodi yang keluar dari alat musik nan unik ini. Aku ingat betul, dulu Pak Bagyo, teman ibuku, sering memainkannya dengan menggantungkannya di badan. Satu tangan kirinya menekan tombol akord, sementara tangan kanannya memainkan melodi. Dan Akordeon menciptakan harmonisasi nan mendayu.
Setelah berpuluh tahun itu, baru kali ini aku mendengarkan orang memainkannya lagi ....
Menjejak ruangan bercat outih dengan pilar-pilar yang kokoh, aku merasakan hawa semakin dingin menekanku. Aku mencoba beradaptasi dengan suasana baru yang tak kukenali. Sebuah ruangan luas berlantai marmer nan dingin, dengan dinding-dinding berhiaskan lukisan ala Victorian. Meja marmer berangka kayu jati dikelilingi kursi rotan, serta meja besar, mungkin meja kerja, dengan sebuah ruusbank nampak rapi menghias sudut rumah. Ada juga sebuah kursi bermodel bergere yang gagah, anggun sejajar dengan sebuah jam gantung yang terlihat kokoh, elegan.
Di langit-langit rumah yang tinggi,menggantung sebuah lampu bermodel vintage dengan kapnya yang berhiaskan lukisan indah. Dan di sela keanggunan ruangan itu, sepasang sejoli berdansa dengan gesture penuh keintiman. Wajah si jelita berambut pirang menengadah. Ya, si rambut kelabang bergaun offshoulder itu telah melepaskan biolanya. Kini dia sedang menikmati percumbuan hati lewat ayunan langkah kaki nan lembut. Dagunya terangkat anggun. Sepasang mata birunya menatap sendu pada kokoh wajah berhidung bangir yang satu tangannya sedang memeluk erat pinggangnya. Sementara satu tangan yang lain saling bergenggaman erat.
Ah ....
Tap... tap ... tap
Tap ... tap... tap
Langkah kaki mengikuti irama dengan teratur. Sesekali sang dara memutar dengan indahnya. Romantisme yang membius dalam alunan musik nan lembut. Melodi akordeon memagut ritmis, memberikan sensasi yang semakin menghangat. Dan sepasang bibir saling mendekat. Lalu bersama ayunan kaki yang seolah satu suara, mereka melenggang ke satu arah. Saat pipi-pipi mulai memerah, dan desah nafas mulai berjejalan mencari jalan.
Di sebuah ruusbank yang agak tersembunyi di balik pilar itu aku berada. Dari situ aku bisa mengintip semua polah dari noni Belanda dengan lelaki pribumi, yang tak kukenal pula, siapa dia, dengan leluasa. Hanya sampai di situ. Karena saat sepasang merpati itu memilih menyingkir dan sembunyi di balik dinding dengan pintu tinggi berlapis tirai nan anggun itu, tubuhku bagai terpaku. Kaku.
Detak jantungku berdetak kencang, semakin kencang. Apalagi ada sedikit ketakutan yang menjeratku. Aku dimana? Benarkah aku terjebak di tahun 1900-an dimana negeriku ini masih di masa penjajahan? Tetapi aku sendiri di sini. Tapi benarkah aku sendiri?
Aku masih mendengar reffrein dari lagu itu, sesaat. Sebelum pintu itu menutup, dan lagu itu semakin samar....
Als de orchideen ... bloeien
Kom dan toch terug bij mij...
Nogmaals wil ik met je wezen
Zoveel leed is dan voorbij
(tapi kini kamu milik yang lain/usailah cerita cinta itu/kembalilah kepadaku/kutak bisa melupakanku)
Aku bagai terjebak di putaran mesin waktu. Bagaimana aku harus kembali ke waktuku yang sebenarnya?
Rumah itu kosong. Tak terlihat lalu lalang orang-orang berwajah bule denga topi bundar yang seperti biasanya aku lihat di layar kaca. Seperti saat aku menonton cerita Siti Nurbaya atau Salah Asuhan.
Tak ada pelayan, tak ada siapapun orang di situ. Kecuali, aku!
Kembali ke lagu itu. Aku tak asing lagi. Aku sudah sangat sering mendengar musiknya, iramanya. Ibuku suka menyanyikannya dalam irama keroncong, diiringi ukulele yang fasih dimainkannya. Ibuku? Oh, mengapa aku tak pernah memperhatikan kemiripan yang ada antara perempuan bule itu dengan ibuku? Eh, ya, ibuku berambut pirang, dan itu menurun pada diriku. Sedikit ikal. Bergelombang besar, tepatnya, dan berhidung bangir.
Dan tentang lagu itu?
Kesiur angin menebarkan sayup-sayup suara ibu.
Bunga anggrek mulai tumbuh
Kuteringat padamu
saat kita masih kumpul
Kau duduk di sampingku...
.......
Tak sengaja akupun mulai berdendang. Dan entah mengapa, Tuhan, mengapa tubuhku seperti turut terhipnotis untuk turut bergerak, mengayun langkah...dan kembali aku melihat bayangan ibu, dan lagu itu..
Bunga anggrek mulai tumbuh...
Aku hendak bersejingkat, saat kesiur angin kembali menimpa wajahku. Sebuah tepukan ringan hinggap pundakku.
“Ndhuk.”
Aku tergeragap. Spontan menyambar hp yang tergeletak begitu saka di atas meja, mengecek waktu, sembari mengucak dan menajamkan mata.
Sesaat aku memaksa diri mengumpulkan kesadaran yang selama beberapa saat menghilang entah kemana. Dan mataku tertumbuk pada satu sosok bertopi laken yang sedang memamerkan gusi licinnya padaku. Mbah Minto!
Astaghfirullah, sudah berapa lama ku telah?
“Kamu masih di lobby hotel, Ndhuk. Si Mbah menunggumu tadi, ternyata Ndhuk Miranti malah tertidur angler di sini,” ujar Mbah Minto lagi sambil tersenyum.
Aku tersenyum malu sembali mengucap permintaan maaf karena sudah membuat Mbah Minto menunggu.
Tetapi Mbah Minto nampaknya tak sedang mendengarkan ucapanku. Matanya kurasakan mulai menyusuri wajahmu, dan tatapannya? Sungguh aku bingung mengartikannya.
“Wonten menapa, Mbah? Saya ke toilet dulu, tak mencuci wajah, nggih. Raup sek, ben ayu,” candaku.
“Ora usah, Ndhuk. Kamu ayu. Seperti ada darah bule dalam tubuhmu.. awakmu kuwi kaya....” Mbah Minto tiba-tiba memutus kalimatnya,”Oh, ora...ora apa-apa, Ndhuk. Ayo,jadi tilik Mbah Putri, to?” lanjutnya.
(Tidak, Ndhuk, kamu cantik. Sepertin ada darah bule dalam tubuhmu. Dirimu itu seperti...Oha, tak apa-apa. Jadi jenguk Mbah Putri, kan?)
“Oalah, to, Mbah..mbah, bule nopo to? Bulepotan lempung, Mbah...yen niku nggih kadhang, wong kulo nggih sok macul barang...” jawabku.
Aku berwajah bule? Banyak orang yang menyampaikan itu padaku. Di luar tubuhku yang memiliki tinggi yang minimalis, kalau tak mau dibilang pendek, aku memang berkulit putih dengan wajah yang kemerahan. Bahkan guru les kursus Bahasa Inggris dulu saat aku masih SMP, suka menjulukiku ‘gadis kecil dengan pipi kemerahan’, alias ‘The little girl with rosy cheek’. Ya, aku, Miranti di Rosy Cheek. Dan rambutku, meski tak ikal, tapi berwarna sedikit pirang.
Tapi tentu saja Mbah Minto tak melihat warna rambut yang tersembunyi rapat di balik hijab. Toh, dia tetap melihatku sebagai gadis berdarah bule?
Sikap Mbah Minto yang misterius semakin memancing rasa penasaranku. Ah, sudah ada begitu banyak pertanyaan yang ada di kepala. Semuanya menuntut jawaban. Semoga semuanya terjawab siang ini.
“Monggo, Mbah...” ajakku setelah sejenak merapikan jilbabku yang sedikit berantakan.
Aku memutuskan membeli buah tangan untuk Mbah Uti di toko oleh-oleh di depan hotel, sebelum kami menyusuri jalanan nan teduh di kota yang menjadi salah satu kota paling bersejarah di Indonesia itu.
Mbah Minto menolak saat aku hendak memesan mobil sewaan atau sekedar menumpang becak agar ssegera sampai ke rumah.
“Mlaku wae, ben sehat. Mung cedhak, kok, Ndhuk,” ujarnya.
(Jalan saja, biar sehat. Hanya dekat saja, kok, Nak)
Sejenak aku sempat mengamati wajah tua Mbah Minto. Aku pikir, dia pasti cukup keren di masa mudanya dulu. Untuk ukuran seorang lelaki kampung, Mbah Minto cukup bersih. Apalagi dengan topi laken, celana komprang dan kaos hitamnya itu, untuk ukuran Mbah-mbah usia diatas 80-an, itu busana yang sangat modis. Dan laken yang terbuat dari kulit itu, bukan topi yang banyak dimiliki pria kampung.
Aku ingat, aku pernah sangat ingin memiliki topi laken kulit seperti punya Mbah Minto ini. Mbah Kakungku punya, tetapi saat beliau sudah berpulang, akupun kehilangan topi itu...
Tak ada yang aneh dalam perjalanan kami ke rumah Mbah Minto. Aku memang merasakan hawa dingin yang tetap menjalar di kudukku. Sesekali aku juga memang melihat bayangan itu, bayangan perempuan berambut pirang yang selalu mengikuti perjalananku. Tapi, entahlah, mengapa dari awal tak sedikitpun kurasakan ketakutan kalau dia akan mencelakaiku. Aku yakin dia hanya ingin bersapa, atau menunjukkan sesuatu. Entah apa itu!
Tak ada banyak perbincangan di antara kami, saat perjalanan yang tak lebih dari seperempat jam dengan mengayun langkah dengan kecepatan standar. Ya, itu karena aku sangat menikmati jalanan kota yang tetap teduh dengan pepohonan dan taman yang tertata apik. Bunga air mata pengantin (Antigonon leptotus) yang cantik dengan bunganya yang pink merona memayungi kursi santai yang berjajar di pinggiran trotoar. Begitupun dengan allamanda kuning yang nampak indah saat bunga-bunganya yang berbentuk mirip terompet mini itu merekah dan menghadirkan keceriaan. Ada juga bunga nona makan sirih (Clereodendrum thomsoniae), dan juga bougenville.
Kuacungi jempol untuk kerja Dinas Pertamanan Kota yang telah menjadikan kota ini indah dan beredukasi. Bagaimana tidak, di setiap pepohonan dan bebungaan yang ditanam, disertakan nama lengkap dengan nama latinnya. Sementara di nama-nama jalan, senantiasa bertuliskan pula aksara Jawa. Ini luar biasa.
Menikmati pemandangan alamanda, sirih merah dan bougenvile yang menghiasi taman kota, memoriku kembali meluncur ke sosok ibu. Bunga-bunga itu dulu banyak tumbuh dan menghiasi pekarangan rumahku. Sesekali ibu memetik sejumlah tangkai dan merangkainya menjadi sebuah mahkota indah yang kemudian dipasangkannya di kepalaku. Oh, Ibu, aku rindu...
“Ndhuk, kita sudah sampai. Itu, Mbah Uti yang sedang nginang.”
Mbah Minto membuyarkan kenanganku tentang ibu. Di hadapanku, duduk di atas lincak seorang perempuan sepuh berkebaya lurik dengan sorot mata yang teduh. Aku meraih tangannya yang keriput dan sedikit berwarna merah tua, khas tangan simbah yang tak lepas dari kunyahan daun sirih, kapur, dan gambir. Menginang, atau menyirih namanya. Menciumnya dengan takzim.
“Uti, tepangaken, kulo Miranti, nembe nyipeng wonten Hotel Nirmala Inn,” ujarku memperkenalkan diri.
(Nek, perkenalkan, saya Miranti, sedang bermalam di Hotel Nirmala Inn)
“Wah, lha ana prawan ayu tekan kene, Piyantun pundi, menika, kok jan ayu temen,” sambut Mbah Uti sembarisembari menyapaku ramah.
Wajah tuanya masih menyisakan aura kecantikan di masa muda. Dan gigi-ginya yang masih terlihat kuat, mungkin berkah kebiasaan menirih yang masih dipertahankannya hingga kini.
(Wah, ada gadis cantik sampai kesini. Darimana asalnya, kok cantik sekali)
Segini aja, ah...lainnya plis, like dan komen di KBM ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar