Selasa, 17 Desember 2019

True Story: NADIA

(Tirta Nursari)

“Seminggu setelah ‘main’, aku kirim test pack padanya. Aku bilang saja kalau aku hamil..dan dia..percaya!”

Perempuan cantik itu bertutur tanpa beban. Senyum menghiasi bibirnya yang polos. Belum mandi, tak ada lipstik. Toh tetap seksi. Rambutnya, kulitnya, gesturenya, tubuhnya, suaranya... 

Sayangnya, oh...


Minggu masih menyisakan embun. Cericit burung terasa melegakan bagiku. Sedikit mengurangi sesak yang menghimpit disini. Di dada ini. Ya..ya..di dada ini. Aku belum berhasil mengusirnya seratus persen. Tapi aku harus menjaga kewarasan.
Sejenak menatap dia yang terlelap, aku beringsut keluar kamar. Mencari teman ngobrol, perawat misalnya, arau ketemu satu dua pasien yang akan menguatkanku. Aku rasa ini  satu pilihan sehat daripada terus menerus mengeram diri di kamar dan terjebak dalam kesuntukan. Hemmm, ya... Nurse Station...

Seorang perawat ramah menyambutku.
”Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanyanya.

“Ah, tidak. Saya hanya sedikit bosan saja di kamar," jawabku.

Lalu kami mengobrol ringan, sebelum perempuan cantik itu datang  melenggang. Wajahnya yang polos dan rambut sedikit acak-acakan, jelas menandakan, dia belum bebersih diri. Di luar itu, tak nampak sesuatu yang aneh. Tapi begitu melihat seragam biru yang dipakainya, barulah ngeh, perempuan itu salah seorang pasien disini.. sebuah rumah sakit jiwa di kotaku. 

“Gimana Ali?”  Seorang perawat menyambutnya.

“Ngajak kawin, Bu. Mbuh itu....” 

“Oalah...lha kamu cantik ok, jadi yo Ali selak ga tahan...”  
Si perawat tertawa ngakak. Sementara si perempuan hanya tersenyum. Sedikit tersipu...

“Aku bingung, Bu...”

Perempuan itu bernama Nadia. Akhirnya aku sukses juga berkenalan dengannya.  Duapuluh empat tahun usianya. Muda, cantik, lulusan sebuah perguruan tinggi ternama. Baru sehari lalu dia kembali masuk ke rumah sakit ini.  Eh, meski namanya rumah salit jiwa, jangan menganggap semua pasien di rumah sakit ini adalah pengidap skizofrenia, atau yang lebih dikenal dengan sakit jiwa, alias gila. Ada banyak gangguan kejiwaan  lain yang tak semata ‘edan’. Bipolar, ini seperti yang diidap Marshanda, si artis cantik itu. Juga depresi, psikosis, kecanduan narkoba, dan lain-lain, termasuk speech delay dan  kecanduan games. Jadi stop menjatuhkan stigma, semua pasien rumah sakit jiwa itu ‘gila’, ya!

O ya, selain menampung pasien-pasien dengan gangguan kejiwaan, di rumah sakit ini, sebut saja RS Cengkaru,  bahkan ada banyak poli yang jauh dari kategori ‘sakit jiwa’. Sebutlah poli obgyn (obsebtri gynekology, kebidanan dan kandungan), poli gigi, poli anak, dan poli umum.

Oke, kembali ke Nadia. 

“Aku kabur tadi dari kantor. Padahal ini hari pertamaku kerja di kantor baruku ini lho,” ujar Nadia sembari menyebut satu nama BUMN terkemuka, dimana baru kemarin dia diterima sebagai customer service.

“Pusing kepalaku. Nggak tahu, melihat orang-orang itu aku jadi mau ngamuk saja. Aku takut meledak. jadi aku langsung panggil gojek saja, kabur kesini,” ceritanya panjang. Hampir tak ada beban dalam kisahnya. Namun aku merasakannya, batinnya, jiwanya, kosong...

Ya, Nadia namanya. Nyaris sebatangkara di rumahnya yang mewah. Mamanya meninggal sejak dia masih duduk di bangku SD, Papanya yang pejabat di salah satu kementerian lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pekerjaan. Mungkin dia berusaha menenggelamkan  kesepiannya, kesendiriannya,  dengan tumpukan berkas dan segala macam tugas kedinasan. Papanya memang sukses, kariernya melesat dan melupakan status kedudaannya...dan lupa pula, dia masih memiliki putri cantik  semata wayang yang membutuhkan perhatian dan sentuhan kasih sayang. 

“Aku tidak punya teman di rumah. Kecuali bibik yang datang pagi dan pulang sore. Bisa apa aku cerita sama dia?” 

Aku mendengarkan dengan diam. Lenganku memeluk bahunya. Mencoba menyalurkan kehangatan seorang ibu.

“Papa lupa, kalau aku ada. Papa juga lupa kalau kulitku yang berbeda, ibadahku yang berbeda, membuat beberapa kawanku melihatku dengan aneh, bahkan tak sekali dua kali aku dibully karena aku berbeda. Tapi papa tak pernah ada...tak ada yang membelaku.”
Ada sedikit getar kali ini, di suaranya.

“Tak ada yang membelaku. Tapi aku cuek. Lalu aku lebih suka bergaul dengan mereka yang menerimaku saja. Happy happy....”

Gadis cantik itu mulai tertawa.

“Dan aku hamil..”.

“Anak siapa?” tanyaku.

“Aku merasa, ini anak dari pacarku itu. Terakhir kali aku berhubungan dengan dia...tapi dia tak mau mengakuinya. Apalagi warna kulit dan keyakinan kami berbeda, kami tak.mungkin menikah.”

Mata Nadia menerawang. Tapi tak lama, senyumnya merekah lagi..

“Dan aku menjebak lelaki itu..Lelaki yang berkulit kuning sama sepertiku, dan cara ibadah yang sama pula. Aku pikir dia bodoh. Aku sudah hamil 6 bulan saat itu, saat aku mengajaknya happy happy di hotel. Dan satu minggu kemudian kukirim testpack....”

Wow..aku membelalakkan mataku. Nadia dengan sangat ringan bercerita, Sesekali senyumnya merekah sembari menyibakkan rambut sebahunya yang bergradasi merah.

“Lalu?” tanyaku tak sabar.

“Ternyata dia tak sebodoh itu, Bu..Dia tahu aku hamil, dan dia memafaatkanku. Bukan aku yang menjebaknya, Bu,...tapi dialah yang menjebakku ... Dia meninggalkanku, tak mau menceraikanku, dan mengambil asetku..”

Aku tertegun. Sejak iru teror terus mendatangi gadis cantik yang kering akan kasih sayang ini. Tekanan demi tekanan diterimanya sendiri, tanpa ada teman berbagi cerita. Jiwanya merapuh. Halusinasi mulai rajin mendatangi dirinya. Ajakan bunuh diri, dan gangguan-gangguan lain membuatnya tak mampu lagi mengendalikan diri. Nadia mulai berulah...Suka marah-marah, mengamuk...dan di titik inilah sang papa melihat kembali putri semata wayangnya. Sayang, tak ada tindakan lebih yang diambilnya, selain memasrahkan, menitipkan putrinya ke RSJ.

“Selama ini papaku hanya tahu aku baik-baik saja, IP ku bagus. Sudah. Hanya itu.”

Nadia mengalami deoresi berat.

Seorang laki-laki setengah baya datang mendekat. Hari Minggu, dan ... tetap berseragam dinas. Tampan, sedikit bermata sipit, berkulit kuning.

“Ini papaku, Bu...”

Laki-laki itu menjabat tanganku.

“Halo, Ibu...”sapanya hangat.

Lalu sekilas dia cium putri cantiknya. Sedikit basa basi, dan... pergi.

‘Papa harus kerja lagi. Bye..”

Ritual sederhana. Ala milenial? Entahlah. Hanya saja sepotong hati ini  teriris.   Aku memeluk Nadia erat. Bukan dengan satu tanganku. Aku merengkuhnya. Tetiba aku teringat kedua malaikatku. Pelupuk mataku membasah.

“Aku bingung, Bu..bayangan-bayangan itu selalu memburuku...”

Ah...Aku tak tahu harus berkata apa. Bayangan-bayangan itu memang masih bisa diusir dengan obat-obatan yang diberikan dokter. Tapi jiwa kerontangya?

“Nadia sayang, kapanpun kau membutuhkan ibu, berceritalah. Ibu akan dengarkan...”

Di luar sana, banyak Nadia Nadia lainnya. 

Karena kasih sayang bukan hanya setumpuk uang, atau pelukan raga dan ciuman kecil di pipinya. 

Karena kasih sayang adalah sentuhan dan pelukan jiwa. 

Ops...tunggu...Ngomong-ngomong, siapakah gerangan Ali...?

Dari perawat terbongkatlah kisah  Ali, sesama penghuni RSJ, dengan kisah serupa namun tak sama.

Selamat pagi, peluk anak kita tercinta. .
Salam sayang untuk semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar