Adjie P. Atmoko
Mayo bersandar pada tiang timba sumur tua yang beberapa malam terakhir menjadi tempat favoritnya. Gadis kecil itu mendongak, menatap bulan pucat yang diganggu awan-awan berwarna kelam. Sesaat, ia terkejut melihat bulan seolah bergidik takut ketika segumpal awan besar datang mendekat. Mayo seketika merasa aura ketakutan bulan menularinya. Apakah karena hanya ia yang malam ini ada di luar rumah?
Mayo menoleh ke kiri, ke sebuah bangunan kecil reot dan miring. Sebuah dorongan kecil niscaya sanggup membuatnya ambruk. Rumah yang tampak menyedihkan. Ibu sendirian di dalam sana. Ah, tidak. Ibu tidak sendiri. Ada seseorang di dalam perutnya yang kian membesar. Bukan anak kedua ibu, bukan adik Mayo, tapi orang lain.
Kata Ibu, ada Ayah di rahimnya.
*
Di usia yang menginjak tujuh tahun, Mayo hanya punya satu keinginan: mengajak Ibu bermain bersamanya. Meski ingin, Mayo jarang melihat ibunya tersenyum saat di rumah. Telinga Mayo lebih akrab dengan suara bentakan alih-alih nada lembut penuh pujian dari Ibu kandungnya. Padahal dari cerita banyak orang, Mayo mendengar ibunya dikenal karena pembawaannya yang ceria dan murah senyum. Menurut Tante Iken, ibu Mayo terkenal di tempat kerja. Temannya banyak. Teman yang terhibur oleh pelayanan Ibu. Dari merekalah Ibu mendapat uang karena senang dengan pekerjaannya. Mayo senang sekaligus sedih mengetahuinya.
Tante Iken yang juga teman kerja Ibu adalah orang yang menyenangkan. Ia selalu menyempatkan diri mengajak Mayo bermain--atau sekadar bercerita. Tante Iken tahu, sejak kecil Mayo terbiasa bermain dengan bayangannya sendiri. Ibu tak pernah membelikan mainan. Satu-satunya mainan yang ia punya adalah "boneka" kecil berwarna coklat. Dulu, Tante Iken membelikannya di toko cokelat saat ulang tahunnya yang keenam. Tetangganya yang baik itu membelikannya permen cokelat paling besar berbentuk beruang. Mayo merasa sayang memakannya, karena kalau ia melakukannya berarti ia takkan lagi punya mainan. Sejak itu, permen coklat Teddy Bear pun menjadi sahabatnya.
“Mainan takkan menjadikanmu pintar, Mayo.” Ibu berpesan sambil menunjuk Teddy yang dirubung semut. Mayo tak berani menatap wajah Ibu yang berwarna merah.
“Ibu akan menyekolahkanmu, tapi tidak untuk mengoleksi permen yang kamu anggap sebagai boneka!”
Tangis Mayo pecah ketika ibu melemparkan sahabatnya keluar jendela. Teddy Bear jatuh terjerembab dengan bagian kepala menghantam tanah lebih dulu. Hidung dan mulut si beruang hancur; bercampur tanah. Mayo harus menunggu hingga semut-semut menghilang sebelum membawanya kembali ke dalam rumah. Gadis kecil itu lalu menghabiskan semalam penuh airmata untuk menggambar wajah Teddy Bear di buku tulisnya. Setelahnya, Mayo merobeknya pelan-pelan karena tidak tahu di mana harus mendapatkan gunting. Si gadis kecil malang lalu menempelkan kertas itu di bagian wajah bonekanya.
Teddy Bear pun punya wajah baru.
Dengan pipi yang masih basah, Mayo memeluk bonekanya hati-hati.
“Mayo hanya punya kamu, Teddy. Jangan pergi.”
*
“Jangan benci ibumu, Sayang.”
Tante Iken seperti mengerti apa yang dipikirkan Mayo. Saat itu Mayo sedang bermain dengan Teddy di teras rumahnya. “Semalam Tante mendengarnya. Mayo dimarahi lagi ya?”
Mayo tak berniat menjawabnya. Menyebut Ibu, sama saja mengiris hatinya sendiri. Perih. Mayo tidak membenci Ibu. Ia hanya tidak mengerti mengapa Ibu tidak sayang padanya. Ibu selalu berkata kasar. Main tangan. Juga sering melotot tanpa Mayo tahu sebabnya.
“Kalau Mayo ingin tahu kenapa Ibu bersikap seperti ini, bertanyalah pada ayahmu, Sayang.”
Demi mendengar kata 'Ayah', Mayo tersentak. Ayah? Itu adalah hal baru baginya. Mayo sering melihat teman-temannya jalan-jalan bersama kedua orang tuanya. Dua orang yang sepertinya selalu ingin melihat teman-temannya bahagia. Semua teman-temannya memiliki orang tua. Lengkap. Ayah dan ibu.
Ayah, apakah aku punya ayah?
*
Setengah jam yang lalu, Ibu sedang mengelus-elus perutnya yang membulat penuh ketika Mayo menanyakan perihal Ayah. Sedikit bagian perut Ibu terbuka, Mayo melihatnya. Ia pun berinisiatif membetulkan baju ibunya.
“Jangan sentuh!” hardik ibunya nyaring, membuat Mayo terkejut dan hendak menangis. “Ayahmu sedang tidur. Biarkan ayahmu istirahat. Tanganmu itu hanya akan mengganggunya!”
Mayo tak tahu. Ia sama sekali tak mengerti maksud ibunya.
“Gara-gara kamu, suamiku pergi. Dia tak pernah kembali, Mayo! Dia kecewa padamu. Gara-gara kelahiranmu, aku kehilangan lelaki yang kucintai….”
Mayo terisak. Isak yang tak ia mengerti. Perempuan di depannya juga terisak. Tergugu. Tubuhnya terguncang-guncang. Mayo ingin memeluk Ibu. Memeluk sosok ibu yang tak pernah memeluknya. Mayo ingin merasai pelukan ibu, meski hanya sedetik. Dia ingin meminta maaf.
“Ayahmu menginginkan anak laki-laki, Mayo,” suara lirih Ibu meluncur di antara sedu-sedan tangisnya. “Tapi kenapa justru kau yang hadir. Kenapa!?”
"Bulan Mei, bulan baik untuk kelahiran anak laki-laki. Dia akan tumbuh menjadi lelaki perkasa dan pemimpin sejati. Ayahmu datang jauh-jauh dari Mindanao hanya demi putra dari rahimku ini, Mayo.
Aku tahu, telingamu belum cukup tebal untuk mendengar kebenaran ini. Aku sudah cukup bersabar menghadapimu. Satu atap dengan sumber masalah sepertimu.
Ayahmu pergi pada malam yang sama dengan kedatanganmu. Dia pergi ke barat, ke muara segalanya harus berakhir."
Mayo berbalik dengan dada nyaris meledak. Kakinya melangkah cepat menuju pintu.
"Maafkan Mayo, Ibu. Maafkan Mayo….”
Demi melihat pintu berdebam, perempuan itu terhenyak. “Mayo! Tunggu, Mayo! Ibu belum selesai bicara, Mayo!”
Perempuan itu hendak turun dari ranjang, tetapi tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyerang perutnya. “Tolong… toloong…, Mayo. Tolong Ibu, Mayo….”
Mayo tak peduli, kakinya terus berlari. Sandal jepit butut yang kebesaran telah lepas. Pipi tirusnya basah oleh airmata. Airmata itu jatuh ke tanah. Memberitahu bumi tentang kepedihan seorang anak yang tak diharapkan kehadirannya. Teddy Bear terayun-ayun di pelukan Mayo. Topeng kertasnya telah lepas entah di mana. Warna coklat membasahi baju Mayo. Warna yang sama dengan tiang timba sumur tua yang kini telah jadi tempatnya bersandar dengan napas terengah.
Beberapa minggu lalu, Mayo menemukan sumur ini secara tak sengaja. Sesaat setelah Tante Iken menyuruhnya mencari Ayah, Mayo berjalan tak tentu arah. Seperti ada sesuatu yang mengarahkannya ke sumur ini. Hal pertama yang ditemukannya di sumur adalah sepasang sandal jepit kusam ukuran dewasa. Mayo memakai sandal tersebut sejak hari itu. Meski kini sandal itu tak lagi mengakrabi kakinya, Mayo merasa ada ikatan dengan sandal temuannya. Ikatan yang tak terjelaskan. Sandal itu dipungutnya tak jauh dari bibir sumur. Bibir sumur yang licin berlumut.
Mayo melongok ke dalam sumur. Hanya hitam yang dapat dilihatnya.
"Ayah?" Mayo berbisik ragu pada dinding sumur. Suaranya merayap turun, menyatu dengan udara pengap di bawah.
Tak ada jawaban.
Mayo mengambil napas lagi. Ia memejamkan mata. Kelebat-kelebat memori berseliweran di otaknya.
Teddy Bear yang 'terbang' melewati jendela; toples kosong yang menyerempet pipinya; mata merah Ibu yang selalu melotot; disiram air dingin pada dinihari yang beku; dan tato bergambar laki-laki di perut bulat Ibu...
Semua itu menggumpal di kepala Mayo. Menyublim. Memaksanya menguarkan teriakan ternyaring yang pernah dilakukannya.
"Ayaaaahhh!"
Ayahmu sangat terpukul dengan kelahiranmu, Mayo mengingat-ingat kata-kata Tante Iken. Dia langsung pergi begitu melihatmu. Beberapa orang pernah melihatnya mondar-mandir di sebuah sumur tua di pinggir kampung. Pergilah ke sana, barangkali ada sesuatu yang bisa kau dapat di sana, Sayang. Dia menginginkan anak dari ibumu. Laki-laki atau perempuan, seharusnya tidak menjadi soal. Carilah ayahmu. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan.Tante akan berdoa untukmu, Sayang.
Mayo memanjat pembatas sumur yang setinggi perutnya. Tangan mungilnya berpegangan pada kayu pengait timba yang lapuk. “Ayah, Mayo tahu Ayah ada di dalam sana. Mayo ingin bertemu Ayah. Ingin memeluk Ayah. Ingin bermain dengan Ayah. Mayo rindu Ayah….”
Seratus meter jauhnya dari sumur, ibu Mayo menjerit sekencang-kencangnya. Tubuhnya bermandi peluh. Merah darah menggenangi sesosok orok yang juga berwarna merah. Tak peduli pada rasa lelah yang memasung raganya, ibu Mayo menggapai bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi laki-laki. Bayi tampan yang mengingatkannya pada seseorang yang telah pergi. Bayi yang mirip sekali dengan suaminya. Segurat senyum terukir mengusir rasa lelah. Senyum yang tak pernah diberikannya pada anak perempuannya.
“Mayo! Mayo sayang..., pulang, Nak. Lihat! Lihat Nak, Ayahmu telah kembali!”
Mayo tak pernah mendengarnya.
Satu-satunya yang didengarnya hanyalah suara Ayah yang memanggil namanya dari kegelapan saat tubuh kecilnya meluncur cepat ke dasar sumur bersama Teddy Bear.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar