Oleh: Sugiharto
Siang itu menjelang waktu sholat Jum'at, aku bergegas di tengah perjalanan kerja. Aku mencari masjid terdekat berharap dapat mengikuti ibadah shalat Jum'at. Sampailah aku di masjid Pandawa Kota Salatiga.
Bangunan masjid berlantai tiga ini kokoh berdiri berhadapan dengan bangunan gereja dan sekolah Kristen di Kota Hati Beriman yang damai.
Di parkiran masjid terlihat sudah penuh sesak. Aku mencoba mencari celah agar mio biru ini dapat istirahat bersama yang lain, sembari menungguku shalat Jum'at. Satu dua motor berbagai tipe aku geser, membantu tugas bapak tukang parkir di tengah terik matahari siang itu.
Akhirnya mio biru nyaman bersanding dengan yang lain, tentu tanpa dikunci stang, supaya usai sholat Jum'at memudahkan yang ingin pulang terlebih dahulu. "Aman, insyaallah".
Lima menit menjelang sholat Jum'at dimulai, aku langsung memasuki ruang masjid di lantai dua. Aku sudah berwudhu sejak dari rumah. "Alloohummaftahlii abwaaba rohmatik", lirih kuucapkan do'a bersamaan dengan langkah kaki kanan saat memasuki masjid yang mulai penuh.
Satu dua jurus aku melihat masih ada tempat longgar di shaf bagian depan, baris kedua. Bersegera namun tidak tergesa, aku menghampirinya. "Alhamdulillah, masih dapat shaf depan", batinku dalam hati.
Usai sholat tahiyatul masjid dua rekaat, kulirik jamaah di kanan kiriku, mereka sedang khusyuk berdzikir, membaca salah satu surat dalam Alquran, surat Al Kahfi. "Masyaallah".
Harum semerbak berbagai minyak wangi tercium di hidungku. Kutepatkan posisi duduk dan ikut berdzikir bersama yang lain, membaca shalawat dengan suara lirih, cukup kedua telinga ini yang mendengar.
Terdengar salam dari loudspeaker masjid, pengumuman dari takmir terkait kondisi keuangan masjid. Saldo usai pengeluaran rutin dan progress pembangunan tempat wudhu putri, masih tersisa sebelas juta rupiah kabarnya.
Kotak infaq beroda empat mulai bergeser dari satu jamaah ke sebelahnya. Kuambil uang kertas di saku, sisa pembayaran dari percetakan spanduk. Kumasukkan kotak infaq begitu sampai di depanku. Kugeser ke kanan kotak itu agar terisi kemudian.
"Assalaamu'alaikum warohmatulloohi wa barokaatuh". Terdengar ucapan salam dari loudspeaker masjid. Nada suara yang tidak biasa kudengar, namun sepintas teringat seorang ulama di masa lalu, Buya Hamka.
Buya Hamka, kesan yang aku tangkap dari ceramah maupun karyanya bahwa beliau adalah sosok yang memiliki kedalaman ruhani yang mampu mengaduk-aduk perasaan setiap orang yang mendengarkan ceramahnya.
Seperti biasa, usai khotib mengucap salam, dikumandangkanlah adzan. Jamaah mulai tenang, terkecuali anak-anak di lantai tiga masjid Pandawa.
"Deg"
"Nada kumandang adzan yang tidak biasa", gumamku dalam hati. Lantunan adzan terdengar mirip suara dari Syeikh Mulla, salah satu muadzin di Masjidil Haram, Mekah. Meski tidak sama persis, lantunan adzan ini mampu mengaduk-aduk rasa di hatiku. Melelehkan rindu saat menunggu waktu shalat di masjidil haram kala itu.
...
Tak terasa mata ini mulai berkaca-kaca. Air mata ini perlahan mulai tumpah tak terbendung, membasahi pipi, hangat, menetes di atas karpet wangi masjid Pandawa. Dadaku terasa sesak. Aku menunduk, sambil khusyu' mencoba mencermati makna di setiap lantunan adzan shalat Jum'at.
...
Usai adzan, kudongakkan kepala. Kutatap sosok tua berkharisma berdiri di atas mimbar masjid, mengenakan peci hitam, berbaju koko putih, lengkap dengan sehelai kain sorban yang disampirkan di pundak sebelah kanannya. Sang khotib berkaca mata bening dengan tangkai warna hitam menyapa jamaah dengan lembut, "Jamaah shalat Jum'at yang dikasihi Allah". Adem rasanya.
Sang khotib mulai menyampaikan isi khotbahnya, diawali dengan bacaan hamdalah disertai satu dua ayat alquran, sholawat serta pesan taqwa kepada jamaah. Dan, yang membuat hilang rasa kantukku adalah nada bicara penyampaian khotbah sang khotib, sungguh spesial.
Penyampaiannya lambat tidak tergesa. Suaranya jelas dengan nada bicara yang santun, mirip pembacaan puisi. Disampaikan tema khotbah saat itu adalah Rasulullah Teladan Sepanjang Masa.
Jamaah sholat Jum'at diajak menyelami sosok Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dikutipnya ayat "Innallaaha wa malaaikatihii yusholluuna 'alannabiy. Yaa ayyuhalladziina aamanuu sholluu 'alaihi wa sallimuu tasliimaa".
Seketika air mata ini deras mengalir, seakan tak terbendung. Dada terasa sesak tenggorok tercekik, akupun terisak menangis namun aku tahan untuk tidak bersuara.
Sungguh, sebuah pengalaman ruhani yang dahsyat. Lebih lagi saat khotib mengingatkan jamaah agar gemar membaca shalawat sebagai wujud kecintaannya kepada rasulullah.
Rindu ini semakin menjadi. Di sela-sela isak tangis rindu akan rasul, rindu kepada tanah suci, kugerakkan bibir nyaris tanpa suara, mengucap shalawat, "allaahumma sholli 'alaa muhammad. Wa 'alaa aalii muhammad. Kama shollaita 'alaa ibraahim. Wa 'alaa aali ibraahim. Fil 'aalamiina innaka hamiidummajiid".
Kupegang dahi dengan kedua kepal tangan, menunduk menyembunyikan tangis rindu. Kuseka air mata di kedua pipi. Sedang khotbah Jum'at masih berlangsung, menjelang selesai pada khotbah pertama.
Jeda khotbah kugunakan waktu untuk berdoa. Kutengadahkan kedua telapak tangan, meminta kepada Allah subhanahu wa ta'ala agar kelak memperoleh syafaat rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Tibalah khotbah kedua dilengkapi dengan do'a dan istighfar memohonkan ampun kepada seluruh muslim di manapun berada.
Khotbah usai dan ditutup dengan shalat Jum'at berjamaah. Diri ini berharap agar ibadah shalat Jum'at kala itu diterima. Aamiin. Kabulkanlah do'a kami ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar