Senin, 30 Desember 2019

Shanna

Oleh: Arinda Shafa

Tik tok tik tok
Detik jam serasa melamban. Kelopak mata yang berat namun urung terpejam. Suara suara menyambangi telinga. Tumpang tindih tak beraturan. Lolongan anjing sesekali menimpali. Lalu angin memburu, mengibarkan tirai tipis hingga hampir menyentuh langit-langit. Rupanya aku lupa menutup jendela. 


Ini shift tidurku. Namun, insomnia kembali mengusik, mengajak bercanda, mengerjaiku dengan semena-mena.  Kumunculkan destinasi wisata impianku dalam pejaman mata: cantiknya sakura, romantisnya Cappadocia, gagahnya Semeru dengan Ranu Kumbolo-nya yang beriak-riak riang, sejuknya Pagar Alam, eksotisnya Baluran. Mereka menari-nari di pelupuk mata. 

Serunya menjadi seorang petualang. 
Sayang, semua telah terampas. tercerabut paksa dari diri. Duniaku tak lagi sama.

Ya, sejak Shanna hadir dalam hidupku, enam tahun lalu. Ia datang, sebagai anugerah dan musibah. Ia membuatku bahagia berbuncah-buncah, tapi juga menangis tergugu, terisak, hingga tak berselera menyentuh sebutir nasi pun. Ia keajaiban, namun juga keputusasaan. 
Semua itu, satu paket yang harus kuterima dengan sepenuh syukur dan terima kasih.

"Pranggg!" 
Kali ini guci kesayanganku yang menjadi sasaran. Masih kudengar suara Ranu, suamiku yang memintanya tenang, tentu sembari memunguti pecahan pecahan guci itu. Lelaki sabar itu ada kalanya juga senewen menghadapi tingkah Shanna. Pernah kupergoki ia menenggelamkan wajahnya dalam bantal dan berteriak sejadi-jadinya. Beberapa menit kemudian,  ia memeluk Shanna penuh kasih. Meninabobokannya hingga pulas.

Dan ini sudah hampir jam 1. Aku belum tidur sepicingpun. Sebentar lagi shift Ranu habis. Besok ia harus ke kantor pagi -pagi. Giliran aku yang harus menjaga Shanna yang masih on seperti baterai full charge. 

"Memang tuh anaknya Bu Shera aneh."
"Iya. Kelainan. Super duper Hiperaktif "
"Kasihan ya padahal cantik anaknya"
"Amit amit jabang bayi deh"
"Entah gimana ntar masa depannya"

Suara-suara itu datang lagi. Menggema gema di liang telinga. Menyerbuku tanpa ampun seperti guyuran hujan deras menghunjam tubuh. Menciptakan denyar yang makin lama makin menjadi. Kepalaku serupa tertancap ratusan jarum. Pandanganku mengabur. kulihat putriku semata wayang yang belepotan cokelat dan lipstik tengah menari, melompat, dan tertawa dalam gerakan slow motion. Ia lalu berbaring kelelahan, tersenyum tulus, dan menutup mata. 

Aku lega. Ia sudah pulas.

Hingga Ranu agak terburu berangkat ke kantor, ia sempat memeluk tubuh pucat dan mengecup kening yang beku. 

Patemon, 29 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar