Oleh : Umi Basiroh
Siang itu Bu Hasan terburu-buru meninggalkan sekolah menuju ke Salatiga. Kebetulan, jam terakhir kosong.
Sebenarnya, Bu Hasan merasa dongkol. Masak, mau ke Ungaran dalam rangka mencari SIM kok harus jemput putrinya yang sekolah di Salatiga?
Kemarin beliau sudah minta putrinya yang cantik untuk menunggu di Terminal Bawen.
Bu Hasan juga sudah memberikan surat dispensasi agar diijinkan mengurus SIM. Mumpung tidak ada acara try out.
Anaknya, yang sudah beranjak 17 tahun butuh SIM. Agar merasa aman di jalan selama berkendara. Disamping persiapan memasuki fase berikutnya, masa kuliah.
Namun, rencana tinggal rencana. Ketika sampai jam 13.00 belum ada tanda kehadiran putrinya. Hati Bu Hasan menjadi gundah gulana.
Bu Hasan segera mengambil handpone kesayangan. Dia cari kontak Hana. Sebuah nama ada disana.
"Piye, Nok? Dah berangkat lum. Ibu tunggu di terminal Bawen ya? Cepetan keburu hujan nanti." Ibu Hasan memanggil putri tercintanya.
Dari gawai Bu Hasan memperoleh jawaban yang tidak mengenakkan.
"Ibu ke sini saja. Jemput aku ya, Buk? "
Tanpa bersalah sedikitpun. Putrinya meminta Bu Hasan untuk menjemput.
"Duh, Gusti Allah. Paringi sabar. Kemarin sudah diberi tahu. Kok, ternyata gak ada perhatian sama sekali." Bu Hasan berusaha menahan diri. Agar tidak mengeluarkan kata-kata yang melukai
Demi putrinya, apapun dilakukan. Beliau segera menyetater sepedanya. Sesampai di sekolah yang dituju, Bu Hasan segera berjalan menuju kelas anaknya. Hana kelas XII IPA 2
*
Awan gelap menyelimuti langit. Kabut hitam itu berjalan beriringan. Berarak menuju peraduan. Tanda alam apa ini kalau bukan hujan. Sementara kilatan mulai menampakkan cahayanya. Menyeramkan tiada tara.
Bu Hasan sudah berada di pintu masuk kelas XII IPA 2. Di dalam ada seorang guru. Sementara, murid-murid mengerjakan tugas.
"Assalamualaikum." Bu Hasan menguluk salam. Seorang guru menjawab. Dia mendekati arah suara.
"Waalaikum salam wr. wb. Ada perlu apa ibu?" Bu guru gantian bertanya.
Begini Bu, hari ini saya minta putri saya diijinkan untuk membuat SIM di Ungaran."
"O, begitu. Boleh silahkan. Mumpung tidak ada try out." Bu guru ramah sekali. Sangat mengerti kepentingan pribadi.
"Silahkan menghubungi guru BK ya? Sekalian surat dispensasinya." Kata Bu guru mengingatkan.
Bu Hasan dan Hana berjalan beriringan menuju ruang yang berada di pojok selatan.
Namun yang aneh, selama perjalanan ke ruang BK. Hana berperilaku yang berbeda. Perilaku yang bikin dongkol.
Hana si gadis jelita selalu berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia
Aneh. Dia juga terkesan cuek bebek dan merasa acuh pada ibunya yang sudah menjemputnya.
Si Hana merasa tidak membutuhkan SIM. Dia mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Bahasanya sengal sengol. Inilah yang membuat hati ibunya sakit tak terperi.
Mereka menyusuri lorong panjang. Sekolah tersebut memang peninggalan jaman Belanda. Makanya luasnya luar biasa.
Keluar dari ruang BK. Semakin terasa, terpaan angin dan titik -titik air mulai turun ke bumi. Tanda hujan sudah beraksi.
*
Menuju tempat parkir. Si Hana masih saja menyalahkan ibundanya. Katanya mahal. Ganggu orang belajar. Dan kata-kata lain yang membuat hati ibunya terluka.
Diiringi gemuruh suara petir. Ibunya murka. Mengeluarkan kata-kata yang tidak terkontrol. Marah meluap-luap serupa air bah yang tertumpah.
Mereka berboncengan. Namun api menyala. Panas sekali.
"Wis ra sah golek SIM. Dewe pulang wae. Buat apa to buat SIM. Ra ono gunane."
Bu Hana meraung-raung diantara suara halilintar dan deras hujan yang menerpa.
Tangisannya bercampur hujan lebat.
Sumpah serapah tak dapat dicegah. Hati Bu Hana sudah dikuasai nafsu angkara.
"Direwangi wong tua, kesel-kesel jemput. Wira -wiri koyo ngene malah ra ngajeni Babar blas. Karepmu piye?"
"Apa rumangsamu aku ki ra kesel? "
"Wis yen carane ngene. Ra sah kuliah kuliahan. Buat apa kuliah kalau dengan orang tua tidak punya adab, gak ada tata krama. Gak punya sopan santun." Bu Hasan bicara tanpa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar