Oleh: Umi Basiroh
"Meh sida mantu, ya Mbak? " Sebuah pertanyaan meluncur dari bibirku. Saat itu, aku duduk bersebelahan dengan Bu Rahma. Dia rekan guruku. Parasnya cantik. Kulitnya kuning langsat.
Kami menghadiri pertemuan rutin Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI. Setiap bulan, pengurus MGMP kabupaten beranjangsana. Dampaknya, kami merasa dekat. Seperti saudara sendiri. Dan yang jelas saling memahami satu sama lain.
"Ya, Nok. Sedelok meneh." Jawabnya singkat. Sambil tersenyum simpul. Senyumannya manis sekali. Semanis gula Jawa.
"O, Alhamdulillah. Ikut senang Mbak. Semoga ndang nulari anakku." Aku menjawab mewakili hatiku yang pingin juga kapan hari indah itu tiba.
"Dapat orang mana, Embak. Kerja dimana? " Aku kepo terus terusan memberondong pertanyaan pada seniorku. Yang kuanggap sebagai Embakku
"Cedak kok. Salatiga. Dia guru." Wajah Embak Rahma berbinar terang, seterang lampu Philip. Aura suka citanya nampak dari gesturenya.
"Semoga diberi kelancaran segalanya." Imbuhku padanya. Embak Rahma menganggukkan kepala tanda setuju pada ucapanku.
Itu kejadian beberapa waktu uang lalu. Embak Rahma menceritakan persiapan untuk putra pertamanya. Embak Rahma akan mantu pada bulan ini, bulan Desember.
*
Aku berangkat ke sekolah dalam rangka piket selama liburan. Sesampainya di sekolahan, kusambamgi meja kursi yang lama tanpa penghuni.
Kulihat ada beberapa guru yang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tiba-tiba aku ingat. Di bulan Desember ini ada undangan pernikahan di Gedung Pertanian Salatiga.
Yach, hampir saja lupa. Kucari dilaci untuk memastikan. Ternyata benar hari ini agendanya.
Undanganku jam 12.00 -13.00 WIB.
Kutinggalkan sekolah menuju gedung pertemuan. Di gedung, kami disambut among tamu dan lagu gambus modern berkumandang riang.
Setelah bersalaman dengan Bu Ita dan mempelai. Kami disuguhi aneka masakan nan lezat. Lidah ku terasa bergoyang manja. Menikmati cita rasa chef pilihan dari Salatiga.
Tak mau merasakan sensasi hujan, aku segera meninggalkan arena. Ku langkahkan kakiku menuju tempat parkir.
Dalam hitungan menit, kami dipertemukan dengan Bu Rahma yang cantik. Dia menggandeng lelaki tampan rupawan. Berjas hitam tampak elegan.
Sedangkan Embak Rahma memakai gaun broklat nan anggun. Berjalan beriringan nampak kompak.
"Assalamualaikum, Embak Rahma. Sama siapa ini? " Kusapa beliau dengan sopan. Kami bertatapan.
"Waalaikum salam, Bu. Umi sama siapa? " Embak Rahma menjawabku. Kami berdiri berhadapan. Kami bersalaman.
"Sendiri Embak. Tadi, hampir lupa. Untung saya piket dan menemukan. Undangan." Aku menjawab penuh semangat. Maklum, habis. Makan bakso satu mangkok dan minum teh panas.
"Sama, aku juga hampir lupa." Embak Rahma menjawab dengan nada sedang.
Kulihat gaun yang dipakai Embak Rahma. Dia cantik banget. Serasi dengan warna kulit yang kuning langsat.
"Naksir bajumu Embak." Kataku padanya, sambil kupegang gaun indahnya.
"Halah, tuku ning toko akeh to. " Katanya sambil tertawa renyah. Serenyah kacang goreng.
"Bar ini, terus tempate njenengan yang mantu ya? " Aku bertanya padanya dengan serius.
"Gagal, Bu. Lum sida mantu. Calon mantuku meninggal dunia. Harusnya, tanggal 21 Desember yang lalu. Tapi, takdir berkata lain." Bu Rahma menjawab kejadian yang menimpanya.
"Makane, baju yang buat mantu tak pakai sekarang." Dia menjawab dengan sabar. Menerima kenyataan.
" Ya Allah. Innalillahi Wa inna ilaihi roojiuun. Sakit apa Embak?" Aku terbata-bata. Terbawa perasaan berduka.
"Kata dokter, pembuluh darahnya pecah. Padahal, bapaknya juga seorang dokter internis saja bisa kecolongan. Aku hanya mendengarkan dengan seksama.
"Aku wis persiapan sembarang-sembarang lho. Pesan undangan, seragam, snack dll." Embak Rahma menambahkan ceritanya. Dia begitu tabah menerima semuanya.
Apalah kita. Manusia lemah tiada daya. Hanya menjalani skenario dari-Nya, Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar