Minggu, 07 Juni 2020

RUMAH TANPA KACA

Tirta Ns.

18+
Malam selalu berjalan lambat dan murung. Bahkan saat rembulan di tengah padang bercahaya dengan gemintang yang menemaninya begadang. Marina tetap saja sunyi. Dia benci malam. Ketakutan menjelang pagi, dan berharap  siang segera beranjak pergi. Dia selalu berharap hari memendek saja. Atau bahkan tak menemuinya lagi. Rumah mungilnya yang indah kini tak lagi secantik dulu. Bunga-bunga menolak mekar. Bahkan anggrek-anggrek berharga mahal,  yang dulu selalu  memamerkan bunganya satu persatu, kini melayu. 


Rumah itu kini menyuram. Seperti Marina yang kini lebih suka pergi menepi. Meski begitu, di sudut hatinya, dia masih menolak mati. Masih ada dua bidadari yang masih terus membuatnya bernyali...

Marina. Tiga bulan ini betapa hidup begitu penat dan menyesakkan. Melelahkan. Betapa Marina ingin sembunyi. Namun tak ada tempat baginya di sini.  Bahkan di sudut lorong tergelap sekalipun. Dia selalu kan bisa menekannya. 

Tak ada lagi tempat sembunyi.  Rumah ini sudah terlalu sempit baginya..

Seperti hari itu. Kepala Marina berdenyut pening sehingga dia memutuskan pulang lebih awal dari biasanya. Suara motornya sudah berhenti di sudut gang. Sepatu hak tingginyapun sudah dilepasnya saat memasuki halaman rumah. Berjingkat dia melangkah, menuju pintu samping. Berharap lelakinya yang kini lebih asyik bercengkerama dengan PC kuno di kamarnya itu tak mengetahui kepulangannya. Tapi dia salah. Lelaki itu bahkan sudah bisa menghirup jejaknya sejak Marina membuka pintu halaman rumah.

Dan seperti bermain ciluk ba saja, saat pintu samping dibuka, Devin sudah ada di hadapannya. 

”Kenapa sembunyi, Marina? Kau tak kangen dengan suamimu ini?” tanyanya sembari mengulas senyum yang begitu memuakkan, menjijikkan. 

Detik berikutnya, Marina sudah tahu tentang apa yang akan terjadi dengannya. Lelaki itu menerkamnya kasar. Menarik tubuhnya. Tak ada ampun. Tubuh mungil Marina tak kuasa menolak hasrat yang tengah menggelegak dari lelakinya. Pukulannya, tendangannya, justru seolah memicu adrenalin Devin, menimbulkan gairah-gairah baru yang menyakitkan. Hingga perempuan itu tertekuk lesu. Memucat. 

Pergumulan itu tak seharusnya terjadi. Ini di ruang tamu, dimana setiap saat seseorang bisa saja mengetuk pintu rumahnya tiba-tiba. Namun Devin seolah menikmati sensasi. Dia tertawa menikmati setiap teriakan demi teriakan  dari  istrinya.  

Sungguh, ini bukan permainan cinta yang ada dalam mimpi-mimpi romantis Marina ...

“Devin, hentikan...tolong...jangan..,” teriak Marina semakin melemah. Tubuhnya yang sedang tak sehat, membuatnya tak sanggup menanggung beban yang memang sangat berat itu. 

Marina pingsan.  

Ini bukan  petaka satu-satunya..

Lelakinya, lelaki bermata teduh itu, telah menjelma menjadi monster yang sangat menakutkan, mengerikan. Marina berada di bawah bayang ketakutan.  Serupa teror, ini lebih parah daripada serial horor Friday the 13th yang dulu acap ditontonnya saat remaja.   

&&&


Devin Aprilio. Lelaki itu gagah dan tampan. Bisa dibilang metro seksual. Bertubuh wangi pula. Dada sixpacknya salah satu bukti kalau dia sangat peduli dengan tubuhnya. Namun itu bukan satu-satunya yang membuat Marina jatuh cinta. Mata teduh dan kelembutannya. Dua hal itulah yang membuat ibu dari dua anak ini akhirnya menerima kehadirannya. Apalagi lelaki yang berselisih 5 tahun dengannya ini juga sangat menyayangi anak-anaknya. Kurang apa? 

Ya, Devin memang bukan lelaki pertama yang singgah dalam kehidupan wanita tigapuluhtahunan itu. Dia hadir lima tahun setelah kepergian Bramantyo, lelaki terkasih yang telah memberinya  dua bidadari. Ya, serangan jantung telah merenggut nyawa ayahanda dari Diaz dan Sherylda, hanya sehari jelang perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke sepuluh. Sungguh menyesakkan. 
Namun Bram sudah mempersiapkan kepergiannya dengan begitu matang. Satu bangunan berpetak-petak dibelinya dari seseorang yang hampir bangkrut usahanya. Hanya beberapa bulan sebelum Tuhan  memanggilnya. Bangunan yang hampir mangkrak itu, kemudian didandaninya dan dikontrakkannya kepada para karyawan berlevel manajer. Ya, sebuah kontrakan kelas menengah atas. Kontrakan itu yang akhirnya menjadi penyambung nyawanya di saat dia telah tiada. Menghidupi tiga bidadarinya yang terus memanjatkan doa untuknya. 

Dan itulah awal pertemuan Devin dan Marina. Devin jatuh cinta. Lelaki itu tak lagi melihat perempuan cantik ini sebagai ibu pemilik kontrakan. Tetapi sebagai seorang perempuan yang menawan dan layak diperjuangkan. Ah, dia duda. Tak ada salahnya melabuhkan hati kembali, bukan? Dan Marina  memenuhi kriterianya ....

“Bagaimana, Marina, apa kau bersedia menjadi istriku?”

Lelaki itu melamarnya suatu malam, dalam suatu dinner romantis yang tak saja melibatkan mereka berdua, tetapi juga bersama Diaz dan Sheryl, anak-anak Marina. 

“Berikan saya waktu. Saya bukan lagi gadis remaja seperti dulu..”

“Baiklah, aku menunggu.”

Lalu Devin bercengkerama dengan bidadari-bidadarinya. Di situ hati Marina luluh. Devin tak hanya menerima dirinya, tetapi juga anak-anaknya. Maka, tak perlu berjongkok sembari membuka kotak berisi cincin, seperti yang suka terlihat di tayangan sinetron.  Marina akhirnya membuka hati saat lelaki itu menanyakan untuk kedua kali. 

“Will you marry me, Marina? Aku tak akan memintamu jadi kekasihku. Karena itu bukan masanya lagi. Aku memintamu untuk menikah denganku.”


Marina tak hanya berbicara tentang cinta. Namun dia butuh tempat bersandar. Marina butuh teman bicara, teman diskusi. Dan Devin cukup layak mendapatkan  tempat di hatinya. Tak hanya mapan, tetapi lelaki itu juga cukup dewasa dan  menyayangi kedua anaknya. Itu yang penting. Maka  Marina pun akhirnya mantap berkata, ”Ya, Insya Allah, aku menerima Mas Devin sebagai imamku.”

 “Terima kasih, Marina. Rasanya aku telah benar-benar jatuh cinta kembali.”

 Kata-kata romantis itu terdengar bagai angin sorga. Dia menguar wangi bersama hembusan angin. 

Pernikahan berjalan hanya satu bulan setelahnya.

“Bagaimana , Bapak-bapak dan Ibu-ibu, sah?”

“Saaaahhhh...”

“Alhamdulillah....”

Babak baru dalam kehidupan Marina dimulai. Keluarga baru yang indah. Mereka begitu saling mencintai. Pun dengan anak-anaknya. Keluarga itu, seolah tak ada cela. 

Sampai akhirnya prahara itu tiba. Perusahaan Devin collaps. Semua karyawan satu persatu di rumahkan, sebelum akhirnya semuanya selesai. Devin kehilangan pegangan. Jauh sebelum perusahaan itu benar-benar bangkrut, lelaki tamatan sebuah perguruan tinggi luar negeri ini telah mengajukan aplikasi ke beberapa kawan. Namun semua zonk. Sang manajer akhirnya ganti status; jobless. Fix, pengangguran, dengan pesangon yang tak seberapa. Itupun dicicil pula. Jiwanya labil, emosinya tak terkendali. Dia tak pernah jatuh sebelumnya. Dia terlahir dari keluarga yang sempurna. Devin sekarat. 

Lalu saat hari-harinya dilaluinya dengan lamunan. Sejak subuh hingga menyenja lagi. Pekerjaannya hanya berselancar dengan menggunakan gawai. Mencari berbagai peluang, menghubungi lagi satu persatu kawan. Kondisi itu benar-benar menyiksa batinnya. Nyatanya koneksitas, pertemanan, tak selalu bisa membantunya di masa-masa sulit.  

“Ayah, kita manfaatkan uang yang ada untuk usaha saja, ya. Ada kost-kostan, kontrakan. Mengapa kita tak buka restoran, atau warung sembako saja?”

‘Naluriku bukan pebisnis. Aku tak bisa.”
“Nanti bisa belajar bersama. Kita minta pertolongan Allah. Dia yang akan membimbing kita.” Marina berusaha untuk tetap berfikir rasional dan bijak. 

Laku batin mereka berbeda. Devin tak terbiasa merintis dari bawah dan berdarah-darah. Maka bukan hal yang menyenangkan baginya bila harus menelan kegetiran. 

 “Tidak, aku tak bisa!”

Dia tetap mengirim berlembar-lembar aplikasi ke berbagai  perusahaan, namun tak ada satupun yang menghasilkan. Di saat usianya  sudah tak muda lagi, bukan hal mudah baginya untuk mendapatkan posisi. Egonya terusik. Di lain pihak, karier Marina semakin melesat. Ini tak  boleh terjadi. Ego lelakinya meronta. Entah, entah apa namanya. Apalagi saat hari-hari Devin kini lebih banyak di rumah, sementara sang istri semakin banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaannya. Maka dunianya bagai terbalik. 

“Ayah, tolong antar Diaz sekolah, ya.“

“Ayah, bisa bantu Bunda ....”

“Ayah ....”

Arrrraggghhh, ia bagai pecundang!

Aku lelaki!!

Ini bukan aku....!

Naluri kelelakiannya menggelegak. Aku laki-laki. LAKI-LAKI!! Emosinya meninggi. Jiwanya tak lagi stabil. Sementara di pusaran waktu, dorongan-dorongan itu semakin menguasai otaknya.

“Kamu laki-laki...kamu laki-laki...dia istrimu...dia harus tunduk padamu...”
Dan libidonya tak terkendali.

Dorongan-dorongan itu....

Harus ....

“Kamu LELAKI!!”

“Bunda!!!”

Perempuan itu ada di hadapan matanya. 

“Kamu lelaki!!”

Dan Devin tak lagi peduli.

Ough!!!

Dada Marina dipenuhi lebam. Lehernya membiru, bibirnya berdarah.

Oogh!!!

Tubuh Marina serasa tak bertulang lagi.

Busana kerjanya robek disana sini. Brutal, ini sungguh brutal. Marina tak bisa mengenali lelakinya kembali. Tubuh mungilnya tak bisa menghindar dari sergapan lelaki yang kesetanan itu.  Ya, dia baru saja membuka pintu dan memasuki ruang tamu, saat Devin menyergapnya kasar. Dan itu terulang dan terulang lagi. Teriakannya tak cukup mampu mengundang tetangga untuk menolongnya. Kalau toh ada yang mendengar teriakannya, mereka akan bereaksi tak peduli. Itu urusan rumah tangga orang.
Marina terhuyung memasuki kamarnya. Tubuhnya terluka  dan berdarah. Namun hatinya, jauh lebih parah.

Marital rape. Perkosaan dalam rumah tangga.  Dia mengalaminya.. 

Dan itu terjadi dan terjadi lagi. Siapa bilang perkosaan dalam rumah tangga tak pernah ada?  Marina mengalaminya.  Adakah yang bisa dinikmati dari sebuah hubungan yang berantakan seperti ini?  Ini mashochist. Sakit jiwa. Bukankah sebuah hubungan sakral harusnya dilakukan dengan penuh penerimaan dan tanpa paksaan? Bukankah sebuah hubungan mestinya dilakukan dengan penuh cinta, dengan saling melayani dan dilayani? 

Tiba-tiba Marina jijik terhadap dirinya sendiri.  Tubuhnya. Jiwanya. Matanya. Semuanya teleh kehilangan rohnya, tak bernyawa. 

Sejak hari itu Marina memutuskan untuk menutup semua kaca yang ada di rumahnya. Dia juga melepas semua cermin yang bisa memantulkan wajah cantiknya. Dia tak ingin lagi melihat wajahnya, tubuhnya, dan matanya yang tak lagi bernyawa. Rumah indah itu kini kehilangan cahayanya. Rumah itu, kini menjelma menjadi rumah tanpa kaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar