Sinopsis.
Bagai sebuah petualangan yang menegangkan bagi Miranti. Dia yang mendapat job menjadi narasumber workshop di sebuah hotel berkonsep heritage ini harus mendapatkan sederet teror yang tak menyenangkan. Dari mulai kamar mandi yang tiba-tiba tak bisa dibuka, telpon tengah malam, hingga kedatangan perempuan misterius yang mendadak meminta ijin menumpang tidur. Siapa sebenarnya perempuan itu? Lalu, siapa pula Hannah van Eiken?
Kamar 2204
(Part 6)
“Sinten sejatosipun Non Hannah menika, Mbah? Wonten gandheng ceneng menapa kaliyan kulo?”
Mendengar pertanyaanku, Mbah Uti kemudian mengajakku duduk di amben besar yang menghuni salah satu sudut ruang tamunya yang luas. Mata sepuhnya yang berhiaskan gurat-gurat nan pekat menatapku serius. Sementara dua tangannya tampak cekatan mengisi selembar daun sirih dengan bumbu gambir, sendulit kapur sirih dan sepotong jambe. Lalu ramuan itu ditumbuknya dalam duplak, sebuah alat khusus semacam lesung kecil untuk penumbuk kinang.
Namun adonan kinang itu tak langsung dinikmatinya. Saat tangannya berhenti menumbuk kinang, matanya bersirobok dengan dua pasang mata yang lain. Mata yang penuh keseriusan. Ya, mataku yang menanti jawaban atas sederet misteri yang tiba-tiba menjejali seluruh alam pikiranku.
Juga mata Mbah Minto yang menunggu, untuk satu hal yang berbeda.
Misteri ini akan dan harus segera terungkap. Harus ....
“Ndhuk.”Mbah Uti membuka pembicaraan,” awakmu kuwi jane sapa, omahmu ngendi, lan sapa wong tuwamu ?” lanjutnya.
“Seperti yang tadi saya sudah matur, Mbah, Kulo Miranti, Mbah. Kulo kelairan Brebes, dan tentang tujuan saya kesini....”
Aku berusaha menjelaskan tentang semua yang telah terjadi. Tentang sambutan selamat datang, dering telepon di tengah malam. Tak lupa juga tentunya, tentang perempuan yang menemuiku di tengah malam iu.
“Pikiran saya tidak sampai, Mbah, untuk menjawab semua yang misteri ini.”
“Ndhuk cah ayu, perempuan yang datang tengah malah, itu Non Hannah. Hannah van Eiken. Biasanya dia memang sering muncul di hari-hari menjelang pentas ringgit selapanan ini. Setiap malam Jumat Kliwon. Tetapi dia tak pernah mengganggu. Hanya sekedar menampakkan diri saja.”
“Non Hannah, siapa dia sebenarnya, Mbah?”
Hasratku ke toilet sudah menguap. Cerita tentang Hannah van Eiken ini sudah menyedot perhatianku. Bahkan hampir saja aku terlupa, kalau pukul 15.00 nanti aku harus sudah sampai ke hotel kembali.
Aku melihat senyum Hannah di sudut lincak . Dia cantik, teramat cantik. Rasanya aku bisa bersahabat dengan dia nanti.
Apakah ini sebuah chemistry?
Aku melirik jam yang ada di hape. 13. 35. Gawat ini, waktuku sudah teramat mepet. Aku harus segera ke hotel. Aku harus bebersih dan bebenah diri. Masalah jawaban untuk sederet misteri, terpaksa harus aku tunda dulu sampai di sini.
“Mbah, pangapuntenipun, saya sudah hampir terlambat, saya terpaksa harus pamit dulu,” ujarku sembari bergegas mencium tangan Mbah Minto dan Mbah Uti.
Aku tak mau sampai ke hotel dalam kondisi ngos-ngosan...
“Lha, Ndhuk...”
“Saya ndak jadi pulang, Mbah, Saya masih di hotel...besok kita ketemu lagi,” ujarku sembari melangkah setengah berlari ke jalan.
Saat....
Klunting..klunting...sreettt...
Sebuah becak tiba-tiba mengerem rodanya dan berhenti tepat di depan rumah. Kebetulankah?
“Becak....!”
Baru saja pantatku menempel di jok kursi, becak sudah melaju....
Tiba-tiba aku sudah sampai di depan hotel...
Dan becak itu, kemana?!
Apakah ini bagian dari misteri?
Aku tak lagi mempedulikan ini, meski sejujurnya bulu kudukku masih merinding.
Tetapi bukankah akhir-akhir ini bulu kudukku memang terasa sangat sering merinding? Bahkan saat aku turun dari becak dan berjalan cepat melewati selasar menuju ke lantai 2, tempat dimana kamarku, kamar 2204 berada. Bulu kudukku masih juga memberikan tanda yang sama. Sesuatu yang berbeda dengan alamku, sedang mengikutiku.
Sejenak kutempelkan kunci berbentuk kartu tersebut ke dalam lobang kunci hingga terlihat warna hijau di handlenya. Tak menunggu lama, akupun segera memutar handle dan bergegas memasuki kamar. Sejenak aku tertegun. Sebuah aroma khas menyambutku. Bunga melati.
Meski aku yakin, tak akan ada yang mengangguku saat ini, tetap saja kulafalkan ayat kursi dan juga doa-doa pendek. Semoga insiden-insiden seperti saat perkenalan kemarin tak terjadi lagi.
Prepare, mempersiapkan diri untuk mengisi materi di pukul 15.15 kulakukan dengan cepat. Mandi, bermake-up. Sederhana saja, standar perempuan. Memakai pelembab, alas bedak, bedak padat, ditambah dengan sapuan blush on agar wajahku terlihat lebih segar, dan eyeshadow dengan nuansa kecoklatan. Begitupun dengan lipstik yang aku pilih, warna nude. Tak mencolok, atau sekedar terlihat sedikit hype. Aku berharap dandananku ini akan membuatku yang mungil terlihat sedikit lebih dewasa dan elegan di depan audiens.
Cukup kurasa. Aku sudah cukup percaya diri dengan penampilanku. Tinggal mematut diri dengan busana yang aku kenakan. Celana berbahan softjeans kecoklatan, Cardigan dengan warna senada, dan seuntai kalung bermodel etnis hadiah dari seseorang kawan. Sebuah jilbab orange berkembang merah semoga pula memberi aura positif dan penuh semangat.
Opss, satu lagi, boots cokelat tua bernomor 36 dengan hak setinggi 12 cm menjadi penyempurna penampilanku.
Okey, let’s join with me...
Kurang limabelas dari pukul tiga sore, langkahku mulai terayun. Bunyi ketukan yang muncul dari dari hak sepatu kesayangan ini selalu membuatku merasa lebih mantap menyapa audiens. Ya, aku suka bunyi langkah kakiku sendiri...
Tuk..tuk..tuk..
Dan aku suka, pada ... wajah yang menatapku dengan senyuman itu. Wajah yang tak lagi pias...
It’s my time..
“Halo, assalamu’alaikum wr. Wb...apa kabar?’
Selalu kutawarkan energi pada pada siapapun yang bersamaku. Lewat senyumku, juga sapa hangatku. Ini pukul tiga, hampir setengah empat sore. Sekedar coffee break kadang tak cukup untuk mengusir kantuk. Bertepuk tangan sejenak? Bolehlah. Tapi itupun tak cukup,
Mari sedikit bermain-main bersamaku...Sedikit ice breaking. Mari bermain ‘jika maka’ agar semuanya kembali berkonsentrasi dan tersemangati.
“Ketentuannya, bacakan dengan gaya ngerap, ok...” perintahku pada peserta yang datang dari berbagai kota dari seluruh Indonesia ini.
Maka dua kelompok saling berhadapan. Tim ‘Jika’ dan tim ‘Maka”
“Jika saya jatuh cinta...”
“Maka simbok harus menciumnya...”
Gelak tawapun menggema, ambyar...
Baiklah, cukup 15 menit saja keseruan itu berlangsung dan kesegaran kembali memenuhi ruangan berkapasitas 150 orang ini.
Sesi berbagi bersama berbagai lembaga pendidikan non formal yang datang dari berbagai daerah itupun akhirnya berjalan mulus. Bersyukur, hampir 90 menit sesi ini berlangsung, tak ada satupun audiens yang mengantuk. Alhamdulillah. Namun seperti juga di hampir setiap sesi yang kuisi, selalu ada surprise yang tertinggal. Sepucuk, atau malah berpucuk, puisi dan ‘surat cinta’. Dan kali ini, tambah satu lagi, seorang penyelundup cantik yang sesekali memamerkan wajahnya di pojok ruang!
Ya, aku masih di hotel ini. Hotel yang esok hari akan menggelar ringgitan, pagelaran wayang kulit selapanan. Dan aku masih jadi penghuni di kamar 2204, yang awal kedatanganku telah memberikan sambutan yang luar bisa meriah. Penuh misteri. Dan sebentar lagi aku akan segera kembali ke kamar itu.
Pada panitia aku sudah menyampaikan kalau tak jadi check out malam ini, karena masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan.
“Mbak Miranti, maafkan kami, semua kamar sold out. Terpaksa Mbak tak bisa mencari kamar pengganti,” kata Mbak Diandra tiba-tiba, saat sesi sudah usai dan kami akan segera kembali ke ruangan masing-masing.
“Oh, no problem. Bismillah saja,” jawabku santai, meski jujur saja, hatiku berdegup kencang.
Saat siang seperti ini saja, meski sudah mulai terbiasa, tetap saja sebenarnya aku tak cukup nyaman dengan pemunculan Hannah. Dunia kami sudah berbeda. Apalagi bila malam datang, dan aku sendirian saja. Ini akan terasa lebih horor. Sementara malam ini, sungguh, aku ingin beristirahat dengan tenang. Menelepon Bramantyo dan memintanya untuk menemaniku malam ini? Ini bukan masalah dua atau tiga jam perjalanan yang musti ditempuh dari kotaku. Tetapi juga bukan kebiasaanku memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Ah, sudahlah, yang penting naik ke atas dulu. Menyelonjorkan kaki setelah seharian ini hati rasanya berkejaran dengan seribu misteri, mungkin akan membuat badan terasa sedikit nyaman. Masih ada waktu sekitar 2 jam lagi menuju saat makan malam. Membuka laptop dan menyelesaikan beberapa tulisan yang belum sempat tersentuh sedari kemarin, mungkin akan membantu mengalihkan perhatian dari segala gangguan dan perasaan tak nyaman ini.
Tapi baru saja aku aku meletakkan pantatku di atas tempat tdur, sesuatu yang tergeletak di atas tempat tidur mengusikku. Seingatku, aku tadi meninggalkan kamar dalam keadaan bersih. Dengan lipatan selimut yang masih utuh. Lalu ini apa?
Gemetar aku mengambil selembar kertas yang warnanya sudah menguning karena faktor usia itu. Sengaja tanganku kulapisi selembar tisue karena debu menempel pekat di seluruh permukaannya.
Dan hampir pingsan rasanya...Foto itu. ya, Allah, persis sekali dengan foto yang tergantung di rumah Mbah Hardjo. Ya, mirip sekali.
Siapa dia?! Adakah hubungannya ini semua dengan misteri Hannah? Masih seberapa banyakkah misteri yang harus aku hadapi?
Ini bagaikan labirin tak berujung. Aku pusing, sungguh pusing.
Plis, Hannah, jangan ganggu aku dulu... Jangan biarkan aku mengalami sport jantung yang lebih parah. Aku ingin beristirahat.
Dan hembusan angin itu melenakanku...
&&&
Entah sudah berapa lama aku tertidur saat pintu kamarku diketuk seseorang. Aku tergeragap. Bahkan baju kerjaku masih menempel di tubuhku. Juga kacamataku. Ampun...
Astaga, ini sudah pukul enam petang, dan aku belum sholat maghrib.Tergeragap, bergegas membuka pintu, nampak sosok Mbak Diandra sudah cantik dengan balutan overall biru muslim motif bunga-bunga dipadu dengan kaos biru muda. Terlihat sekali sisi keremajaannya.
Dia nampak terkejut melihat penampilanku yang masih mengenakan pakaian yang sama persis dengan dipakai tadi.
“Ops.. maaf, saya ketiduran,” ujarku sembari mempersilakan gadis asal Pati itu masuk ke kamar sembari menunggu bebenah diri dan sholat maghrib.
“Mbak, nanti malam bagaimana, siap tidur sendirian, atau butuh ditemani?” tanya Mbak Diandra saat lift sudah mulai terbuka.
Aku terdiam. Sapaan pertama saat aku kembali masuk ke kamar tadi sungguh tak menyenangkan. Sejujurnya aku belum terlalu siap bertemu dengan hal-hal yang aneh-aneh itu, meski aku sudah berusaha beradaptasi. Apalagi saat aku tahu, aku ada gandheng cenenge dengan hantu noni Belanda itu. Aku penasaran. Tapi nyaliku belum cukup kuat untuk mendapatkan jawaban itu dari Hannah. Aku lebih siap menerima penjelasan itu dari Mbak Minto, Mbah Uti, atau mungkin...Mbah Hardjo? Apakah beliau juga tahu tentang rahasia itu?
“Mbak Miranti?”
“Ops, maaf,” kataku,”apa tadi, Mbak?”
“Mbak Miranti butuh teman untuk di kamar?”
Aku tercekat.
“Hei, Mbak Miranti, Mbak Diandra....”
Pak Maksum, ya, itu Pak Maksum. Ah, ada juga Mbak Logika, Mbak Irena, Pak Hidayat, itu kawan-kawan seperjuangan yang ternyata hadir di acara ini. Beberapa waktu ini kami sedang intens membahas tentang gerakan literasi di wa grup.
“Mbak Diandra, nanti malam, Pak Maksum, dan kawan-kawan biar rapat di kamarku.
Ah, maafkan, aku tak minta pendapat kalian dulu. Yang pasti malam ini, aku tak sendirian dulu. Oh, ya, kebetulan ada Pak Maksum. Beliau akademisi yang nyambi kyai, atau kyai yang berprofesi sebagai akademisi? Tak pentinglah itu. Mungkin nanti aku akan berbicara tentang apa yang terjadi....
Lanjut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar