Sinopsis.
Bagai sebuah petualangan yang menegangkan bagi Miranti. Dia yang mendapat job menjadi narasumber workshop di sebuah hotel berkonsep heritage ini harus mendapatkan sederet teror yang tak menyenangkan. Dari mulai kamar mandi yang tiba-tiba tak bisa dibuka, telpon tengah malam, hingga kedatangan perempuan misterius yang mendadak meminta ijin menumpang tidur. Siapa sebenarnya perempuan itu? Lalu, siapa pula Hannah van Eiken?
Kamar 2204
Part 3
“Halo, Bu Miranti, apa kabar?”
Sapaan seseorang mengejutkanku. Astaga, kami telah berada di depan resto rupanya.
“Halo..” sambutku tak kalah hangat, pada seseorang, yang jujur saja aku lupa, atau bahkan aku memang tak mengenalnya sebenarnya. Yang pasti dia salah satu peserta di workshop ini. Tangannya terulur menjabat tanganku. Cipika cipiki sejenak...saat mataku menangkap sekelebat bayangan perempuan itu...
Perempuan itu?
Siapa dia?
Menuruti kata hati, tentu saja ingin segera kutarik tubuhku dari ibu-ibu yang sedang hangat menyambutku itu. Tetapi aku sadar, ini tak elok. Ibu peserta workshop ini pasti akan menganggapku sombong, dan ini akan berpengaruh pada sesiku nanti. Jadi biarlah kusimpan dulu rasa penasaranku itu.
Aku mencoba mengikuti dengan ekor mataku, kemana perempuan cantik berbaju putih itu melangkah. Siang hari begini, mencoba berpikir positif saja, tak akan ada yang aneh-aneh yang akan mengganggu konsentrasiku. Namun sayangnya, hanya dengan satu kedipan mata, aku telah kehilangan jejak perempuan berambut pirang yang nampak anggun dengan kepang duanya itu.
Melepaskan diri dari keramaian peserta workshop yang sedang sarapan pagi, aku menuju ke meja salah satu panitia yang kebetulan juga sedang sarapan pagi.
“Hai, Mbak Miranti, apa kabar? Mari gabung sini,” sambut Bu Latifah ramah saat aku telah berada di hadapannya.
“Halo, Ibu, alhamdulillah...kebetulan lagi kangen sama Ibu, lama ya, kita nggak ketemu,” sahutku sedikit berbasa-basi,”ngomong-ngomong, peserta ada berapa, Bu? Terus dari mana aja?” lanjutku sembari mengambil tempat duduk persis di depannya.
“Ini ada 120 orang, Mbak, alhamdulillah ada perwakilan dari seluruh propinsi. Kecuali Aceh yang belum sampai karena masalah transportasi.”
“Oh, oke. Jadi nggak ada ya, peserta yang perwakilan khusus dari negara tetangga, barangkali dari NGO atau filantropis, mungkin...”
“Nggak ada, sih. Memangnya ada apa, Mbak?” tanya Bu Latifah sedikit penasaran.
“Nggak apa-apa, sih, Bu. Kalau ada mereka, siapa tahu saja kita bisa berbagi tentang pengembangan akses,” jawabku asal.
Usai menyelesaikan sepiring kecil salad sekedar untuk peneman ngobrol, aku segera berpamitan kepada Bu Latifah. Tak lupa, akupun menyapa Mbak Diandra dan memohon ijin untuk kembali ke kamar duluan.
“Saya selesaikan dulu beberapa pekerjaan, ya, Mbak. Sesi saya masih pukul tiga sore nanti,” pamitku pada perempuan cantik yang kutaksir usianya belum lagi 30-an itu. Masih teramat muda, ”terima kasih tadi sudah disamperin. Jadi saya nggak merasa jomblo disini,” candaku sejenak.
Yah, seperti pada sesi yang sudah-sudah, aku selalu mendapat sesi materi di jam-jam rawan. Tentu saja, ini waktu penuh tantangan dan perjuangan. Bagaimana harus mampu menjaga sesi agar tidak membosankan dan membangunkan para ngantukers yang sudah jenuh dengan berbagai materi yang dijejalkan semenjak pagi.
Masih banyak waktu untuk sampai ke pukul 15.00 WIB. Materiku sudah siap dan sudah pula kusetorkan ke panitia. Masih ada satu deadline tulisan yang harus aku setorkan. Tapi sudahlah, pertanyaan tentang Hannah, atau Hanna jauh lebih menggoda.
Sebelumnya, aku tentu harus memecahkan dulu satu teka teki yang sedari tadi menghantui pikiranku. Siapa perempuan di restoran yang kulihat tadi.
“Mas, selain dari kegiatan kami, apakah ada peserta dari kegiatan lain yang pagi ini juga breakfast disini?” tanyaku pada seorang waitress yang hendak mengantarkan sepiring waffel dan omellete kepada salah seorang pengunjung restoran.
“Tidak ada, Ibu. Kebetulan hari restoran sudah dibooking untuk satu kegiatan saja.”
Fiks. Perempuan itu kemungkinan besar adalah perempuan yang sama dengan yang datang semalam, yang tak sempat aku cermati. Kecuali seorang perempuan berambut pirang yang meminta ijin menumpang tidur. Entahlah apa yang terjadi denganku semalam sehingga lidahku kaku, dan bahkan tak sempat bertanya dan sedikit bercakap saja dengannya.
Mestinya aku paham perempuan itu berwajah pucat dengan rambut yang pirang. Mestinya aku paham kalau dialek dari perempuan itu berbeda denganku, atau perempuan-perempuan Indonesia pada umumnya. Mestinya aku sangat paham, kalau itu tak lazim. Apalagi busananya ....
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sosok lelaki tua bertopi laken yang sedang berada di bawah pohon beringin. Bercelana komprang dan kaos hitam, lelaki yang kuperkirakan sudah berusia 80-an tahun terlihat sedang membawa sapu panjang dan pengki. Mungkin dia lelaki itu ditugasi untuk membersihkan tempat itu.
Ini teramat aneh. Bukankah hotel memiliki banyak cleaning service, tukang kebun, atau tukang taman yang bisa diminta untuk bebersih di setiap sudut, termasuk di tempat itu?
Segera kuhampiri sosok sepuh itu ....
“Sugeng enjang, Mbah. Wah, nembe badhe resik-resik, njih. Badhe wonten pahargyan menapa?” tanyaku pada seorang lelaki tua yang sedang asyik membersihkan pelataran yang berada di bawah pohon beringin tua.
(Selamat pagi, Mbah. Wah, mau bersih-bersih, ya. Akan ada acara apa?)
“O, nggih, Bu. Mbenjang menika badhe wonten pagelaran ringgit. Menika trasisi selapanan. Menawi panjenengan mbenjang taksih wonten mriki, sumonggo ndherek mirsani,” jawab Simbah sambil tersenyum ramah.
(O ya, Bu. Besok ada acara pertunjukan wayang. Ini untuk tradisi selapanan. Kalau ibu masih disini, silakan menyaksikan)
Aku tersenyum.
“Insya Allah, njih, Mbah,” jawabku sembari mengulurkan tangan,”Kulo Miranti, Mbah. Panjenengan saget nimbali kulo Mbak Mira kemawon. Menawi panjenengan asmanipun sinten?” tanyaku kemudian.
(Saya, Miranti, Mbak. Anda bisa memanggil saya dengan Miranti saja. Bapak, siapa namanya?)
“Kulo, Minto, Bu. Tiyang-tiyang biyasanipun nimbali kulo Mbah Minto, wong kulo niki mpun tuwo, mpun anguk-anguk kubur,” jawab pria sepuh sembari memamerkan gusinya yang sudah terlihat mulus.
(Saya Minto, orang-orang biasa memanggil saya Mbah Minto, karean saya sudah tua, sebentar lagi meninggal)
Dari percakapan berikutnya, tahulah aku kalau Mbah Minto tinggal di belakang hotel, hanya berdua dengan Mbah Uti. Karena kondisi fisik Mbah Minto yang sudah tua, maka dia hanya diminta bekerja membersihkan panggung dan seputar pohon beringin itu dari jam delapan sampai jam sepuluh pagi. Sore hari, Mbak Minto akan kembali datang pukul empat sore sampai selesai.
Aku tengok layar hp yang ada di genggamanku. Ini baru jelang pukul delapan pagi. Berarti Mbah Minto baru datang, dan masih dua jam lagi...
”Mbah, panjenengan pareng nganggep kulo putro wayah. Putu. Ning njenengan mangke sampun kondur rumiyin, nggih. Kulo dipun tenggo, ndherek tilik Mbah Uti wonten ndalem, pareng, to?” tanyaku kemudian, sambil menyentuh tangan Mbah Minto yang pekat dengan keriput.
(Mbah, silakan anggap saya cucu. Tapi nanti jangan pulang dulu, ya, tunggu saya, saya ingin menjengguk Mbah Uti di rumah, boleh, kan?”
“Oalah to, Ndhuk..ndhuk..yo, entuk wae. Matur nuwun, aku dianggep simbahe. Ya, ya, mengko entuk tilik Mbah Uti, tak enteni.”
(Oalah, to, Ndhuk, ndhuk, ya, boleh saja. Terima kasih saya sudah dianggap sebagai simbah. Tentu saja boleh menengok Mbak Putri, saya tunggu)
Aku tahu perempuan itu mengawasiku dari tadi. Feelingku mengatakan begitu. Matanya yang biru, menyorotku tajam. Serupa bayang, dia duduk di bawah pohon beringin itu, mencangkung, dengan sorot mata yang tak lepas melihatku. Tengkukku sudah meremang dari tadi. Tapi aku tak peduli. Aku tak memiliki niat jahat padanya.
Aku tak akan mengganggumu, percayalah. Dan aku berharap, kaupun jangan pula menggangguku...
Pada dia yang diam, aku berujar lewat bisikan.
Tengkukku masih juga meremang. Aku tak pernah merasa diri kalau memilki indra ke enam. Tapi tentang intuisi, kurasa, aku cukup tajam tentang hal ini. Aku rasa itu bukan hal yang terlalu berlebihan. Mbah Hardjo, ayah dari bapakku, adalah pembaca kitab Betal Jemur, primbon Jawa yang sangat titis sebagai pembaca wisik.
Aku membatalkan diri untuk kembali ke kamar. Dua jam bisa saja terjadi banyak hal, bila aku memaksakan diri untuk naik. Beruntung aku sudah membawa dompet kecil yang terselip di celana jeansku yang kubiarkan saja memiliki sedikit robekan di lututnya. Bukan nya sengaja, tapi beberapa waktu lalu aku mengalami sebuah kecelakaan kecil yang membuat celana kesayanganku ini tersayat. Memuseumkannya, wadow, tidak. Toh, hanya sayatan kecil yang tak akan membuat auratku terpampang nyata.
Aku pikir, lebih baik aku kembali ke lobi. Mungkin saja aku akan mendapatkan sesuatu. Ya, sesuatu yang tak terduga-duga, yang bisa saja datang dari orang tak terduga pula. Aku ingat betul, dalam suatu acara, seorang wartawan sangat senior, Temmy Lesanpuro dan Errol Jonathans pernah berkata, siapapun orang yang kita temui, bisa jadi dia adalah narasumber berharga yang sangat kita cari.
Dan aku sudah mendapatkan salah satunya. Mbah Minto. Sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan banyak keterangan darinya.
Berusaha mencari satu tempat ternyaman untuk mojok dan sekaligus memperhatikan keadaan, akupun mengambil posisi duduk di sofa empuk, tak jauh dari meja resepsionist. Aku pikir aku akan membuka sejenak chat-chat yang masuk sembari mengechek email-email yang mungkin juga sudah berjejalan. Saat lagu itu tiba-tiba terdengar lembut, lirih, mengiris...
Als de orchideen bloeien
Kom dan toch terug bij mij
Nogmaals wil ik met je wezen
Zoveel leed is dan voorbij
Lagu itu....aku menengok sekeliling. Tak ada live musik yang sedang berlangsung. Lagu berbahasa Belanda itu, aku pernah mendengarnya. Ya, ya, seorang kawan pernah bercerita, omanya dulu sangat suka menyanyi. Dan lagu yang menjadi favoritnya adalah lagu ini Als de Orchideen Bloeien. Lagu karya Ismail Marzuki yang sempat dinyanyikan oleh Patty Bersaudara ini diciptakan tahun 1939 dan sangat populer hingga beberapa tahun berikutnya.
Ibuku, juga sangat suka menyanyi. Menyanyikan dengan irama lagu yang sama, tetapi dengan bahasa yang berbeda. Versi Bahasa Indonesia, Bunga anggrek mulai tumbuh.....aku ingat padamu......
Lagu itu, dengan irama yang sangat tak asing bagiku, benar-benar nyata di telingaku saat ini. Ini jaman milenial, Bung, dan masih ada seorang perempuan menyanyikan lagu ini dengan Bahasa Belanda...
Maar nu been je van een ander
Vo orbij is de romantiek
Kom toch terug bij mij weder
Jou wergeten kan ik niet
Perempuan itu memakai rok panjang sedikit mengembang dengan bahu offshoulder. Rambutnya yang pirang dikelabang rapi dalam dua ikatan. Matanya biru. Dia nampak menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Matanya menerawang. Sesekali dia menggesekkan biolanya yang menghadirkan suara yang menyayat...
Tiba-tiba kantuk menyerangku..aku sungguh tak bisa menahannya.
Dan aku melihat perempuan itu berdansa... taman yang indah ... suasana asing yang tak pernah kutemui sebelumnya....
Aku di mana ?
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar