Senin, 01 Juni 2020

KAMAR 2204 (Part 1)

Kamar 2204. Aku menerima kunci kamar berbentuk kartu itu dari pegawai hotel nan cantik di meja resepsionist. Seorang room boy menyambutku dan sigap membawakan koporku. “Mari, Bu, saya antar,” ujarnya.

Aku baru saja usai menaruh koperku di dalam kamar, saat tetiba hasrat itu datang tak tertahankan. Pengin pipis. Bergegas aku menuju ke toilet. Tak kukunci. Pintu hanya kututup saja. Toh aku sendiri, apa masalahnya?

Tak sampai lima menit kurasa, hajatku pun tertuntas sudah. Segera kuputar benda bulat yang ada di pintu kamar mandi. Tapi..

Klek, klek. klek..

Pintu bergeming.

Ku coba lagi.

Klik..klek..

Tapi pintu tak juga terbuka. Kuulang dan kuulang lagi. Handle macet. Betul-betul macet. Lemas badanku. Ini hotel bintang 5, cuy. Mosok sih, handle pintu kamar mandi bisa macet begini.

Tiba-tiba buku kudukku meremang. Apes, kamar hotel berbintang ini nyaris kedap suara. Berteriakpun, siapa yang mendengar. Bulu kudukku mulai berdiri. Ini aneh. Pintu ini tak kukunci, tapi mengapa bisa begini?

Oh, tarik nafas, mencoba menghilangkan panik. Bersandar di dinding tembok, berhitung mundur sembari berucap doa. Di hati saja...10...9...8...7..

Baiklah kucoba lagi.

Klik klik...

Pintu terbuka dengan mudahnya.

Aaaaarrrghhhhh...ada apa gerangan tadi?

Ucapan selamat datang yang sungguh menyebalkan, huh! Padahal aku sudah beberapa kali menginap di hotel ini. Sebuah hotel berarsitektur Jawa klasik yang konon pemilik sahamnya masih bertrah darah biru yang sohor itu. Tapi kali ini, entahlah, aku merasakan energi yang berbeda. Ya, ya, aku merasakan itu. Apalagi melongok keluar kamar, aku melihat sebatang pohon beringin raksasa yang menjadi ‘payon’ bagi altar pertunjukan yang berada di bawahnya. Kabarnya, di hari-hari tertentu selalu digelar pertunjukan wayang.

Hadeeehhh., tiba-tiba aku teringat lingsir wengi...

Lingsir wengi..
Sliramu tumeking sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo.
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadiyio sebarang
wong kang lelayu sebet

Yeah, dan aku akan ada di kamar ini selama tiga hari. Fix. Se –rock n roll apapun aku, toh debaran ini masih ada. Kuduk yang merinding disko. Wahai, sedikit menyesal, mengapa aku harus mendapatkan kamar ini.

Usai bebersih dan sholat Maghrib, aku turun ke lantai bawah, menuju resto. Sambil berjalan menyusuri lorong hotel, ku amati, kamarku yang persis berada diatas selasar, di samping tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.

Di samping kiri selasar, berjarak hanya sekitar 10 meteran saja pohon beringin itu ada. Entahlah, setiap kali aku melihat beringin, apalagi yang berukuran raksasa selalu saja hatiku berdenyut. Deg degan...usia pohon ini, pasti sudah berkalilipat dari usiaku. Kutaksir sudah ratusan tahun.. ya, kukira, segitulah usianya...

Sampai di restoran, aku hanya mengambil ala kadarnya. Sepiring salad, beberapa iris daging, semangkok sayur saja...dan aku sudah ingin segera menuntaskannya. Entah mengapa melintas selasar itu, hatiku berdesir. Aku tak mau terlalu asyik disini, menikmati musik dan bertemu kawan akan membuatku lupa waktu, dan malamku tertahan disini.

Kau tahu, kan, suguhan musik-musik oldiest itu bisa menjeratku.

You fill up my senses
Like a night in a forest
Like the mountains in a springtime
Like a walk the rain..
like a storm in dessert
like a sleepy blue ocean..

Ah, lagu ini mengingatkanku padamu.
Sudahlah. Kudapan terakhir aku segera meninggalkan meja makan. Ah, ku pikir sebentar, ternyata penanda waktu sudah menunjukkan jelang pukul 20.00 WIB.

Menyusuri selasar, mengusir sepi, aku bersendung sendirian. Yeah, Annie Song, lagu itu membiusku. Aku menghindari Lingsir Wengi. Konon, ini lagu pengundang setan. Ampun...

Entahlah, mencoba mengenyahkan rasa-rasa entah ternyata memang tak mudah. Apalagi beberapa kali aku menemui hal-hal aneh ini dalam hidupku. Sudahlah..aku tak ingin menceritakannya disini..

Kamar 2204. Ini kamarku. Usai membuka pintu dan menyelipkan kunci kartu di tempatnya, aku langsung masuk ke toilet. Menyikat gigi dan mengambil air wudhu untuk sholat isya. Kali ini pintu toilet kubiarkan terbuka. Aku tak mau terjebak dalam cerita horor seperti tadi, kapooookkk...

Usai sholat isya, aku mulai membuka laptop dan meneliti kembali materi untuk presentasiku besok.

Tetiba hapeku bernyanyi. Sebuah nama muncul. Pak alex, salah satu pejabat kementerian yang mengundangku hadir di acara ini..

{Yess, Sir, Assalamu’alaikum..}

{Sudah sampai, Mbak?}

{Sudah, dari sore tadi. Wonten dhawuh?}

{Materi besok, siap?}

{Ashiyaaap}

{Oke. Sekalian besok habis presentasi aku dibantu, ya..}

{Siap. Bantu apaan, ya?}

{Bla...bla...bla...)

(What?!}

{Wis..pokoke kamu besok lihato dhewe.. iki penyakit..)

Halah....pembicaraan terhenti. Pejabat yang wong Jawa Timur itu
memang humble banget. Tak heran biila kami bisa saling berkomunikasi dengan sangat cair. Tak bersekat.

Aku kembali menekuri materi yang akan kupresentasikan besok. Meski aku tak terlalu jago membuat ppt, tetap saja aku berusaha untuk menampilkan yang terbaik. Bukan begitu?

Dering telepon kedua. Kali ini dari lantai bawah. Resepsionis hotel.

(Selamat malam, Ibu)

{Selamat malam}

{Maaf, Ibu, apakah ibu menggeser-geser perabot malam ini? Menggeser kursi atau meja, barangkali?)

Aku melengak. Gila apa, memangnya aku kurang kerjaan.?

{Mas...saya sedang mengetik. Dan tidak mungkin juga saya menggeser benda-benda seperti itu malam-malam begini..}

{Maaf, Bu, ini yang ada di kamar bawah menyampaikan ada kegaduhan di kamar ibu..}

OMG, apa lagi ini...

Belum usai rasa dongkol di hati usai, pintu kamar diketuk orang.

Tok..tok..tok..
Aku bergegas membuka pintu. Wajah seorang perempuan berdiri di depanku. Berambut panjang dengan wajah sedikit pias.

“Saya takut sendirian di kamar. Bolehkah saya numpang tidur disini?”

Ah, mungkin ini salah satu peserta yang akan mengikuti kegiatan besok pagi..pikirku.

“Oh, silakan, Mbak. Kebetulan saya tidur sendirian,” jawabku tanpa basa basi.

Perempuan itu langsung naik ke ranjang. Menggelung tubuhnya dengan selimut. Meski dalam hati sedikit bertanya, aku membiarkannya saja. Entah mengapa, aku yang biasanya ceriwis malam itu lidahku beku, serasa terkunci.

Sesaat perempuan itu menggelung diri, akupun segara mengemasi laptop dan menyusulnya tidur. Tapi..entah mengapa perasaanku tetiba tak enak.

Saat aku membuka mata, perempuan itu terlihat sedang mengawasiku. Dia tak tidur....

“Aku mau pulang...” katanya tiba-tiba. Tetiba pula dia turun dari tempat tidur, membuka pintu, dan aku sudah tak melihatnya lagi. Aku hanya bisa tertegun.

Pukul 00.00 WIB. Aku melihat angka di ponselku. Kudukku berdiri lagi. Kubaca ayat kursi, dan menggulung diri lagi di selimut.

“Hay, siapapun kamu, jangan menggangguku, ya...Aku tak akan mengusikmu,” pesanku pada entah. Semoga dia memahaminya.

Belum lagi 24 jam aku di hotel ini, sudah sederet ucapan selamat datang yang menyambutku.

Ah..aku Miranti. Aku memang tak jago membuat puisi, tak juga membuat cerita-cerita fiksi, apalagi kisah cinta yang mendayu-dayu. Tapi untuk sebuah proses investigasi, aku rasa kau tak perlu meragukan itu. Itu duniaku...

Tapi aku tak akan memberitahumu sekarang tentang hasil investigasiku itu. Nanti saja. Yang pasti malam ini, di kamarku ngedusel banyak orang, termasuk Pak -aku simpan saja namanya- seorang ustaz akademisi yang turut menjagaiku.
Syukurlah, setidaknya malam ini ada yang bisa kuandalkan untuk jadi pendoa, pengusir setan..

Dan tentang perempuan itu...yang mengetukku di tengah malam...dan sesaat menjadi teman tidurku...

Dia memang akan selalu muncul di selasar itu, di malam-malam tertentu...Mungkin juga menyambangi kamarmu....

Kau tunggulah saja....

Ungaran, Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar