Senin, 01 Juni 2020

KAMAR 2204 (Part 2)

Sebetulnya, sungguh aku tak ingin membagi cerita ini padamu. Aku tak ingin menghadirkan teror baru, sementara hari-hari ini saja makhluk super mungil berukuran 125 nanometer bernama Covid 19, telah sukses menggoncangkan rasa nyaman di hati para penduduk seantero dunia dan meluluhlantakkan nyali pula. Rumah makan, restoran sepi pelanggan karena efek lockdown dan PSBB. Bahkan salah satu gerai makanan cepat saji nan fenomenal pun sampai ditutup.

Di kampungku, pakai masker bahkan tak boleh lalai, meski hanya sekedar beli roti di warung Nyai. Apalagi mau berangkat ke ortodonti, prei...Libur dulu, tak dilayani.

Virus ini memang sukses menghadirkan teror yang luar biasa. Paranoid. Kecurigaan yang kadang berlebihan dan bahkan berdampak ke psikosomatis. Lha iya, mosok dalam situasi seperti ini, masih harus kulanjut juga ceritaku yang berbumbu misteri?

Tapi, baikkah, karena itu permintaanmu...

Ini masih tentang kamar 2204 yang berada tepat di atas selasar, berjarak 10 meteran saja dari pohon beringin yang memayoni sebuah panggung terbuka, tempat ringgit , wayang kulit di hari-hari pasaran tertentu, sekali dalam selapan , digelar.

Pagelaran ringgit pasti komplet sindhen yang merak ati dan nayaga yang akan menabuh bilah-bilah gambang, gender, kethuk, kenong, dan kempyang, juga gong dan kempulnya .

Dalam irama slendro maupun pelog, nuansa yang mengalir akan terasa wingit , kadang ngelangut , meski pada adegan goro-goro akan selalu ada tepakan gendang yang ritmis dan dinamis.

Baiklah, aku akan sedikit berbagi untuk menjawab kekepoan, rasa keingintahuan yang besar dari kalian, tentang sosok berambut panjang yang malam itu sempat menjadi teman tidurku, meski hanya sebentar. Juga, bagaimana dengan petualanganku di hari kedua di hotel itu, masihkah ada huru hara pemindahan kursi dan meja di malam buta? Telepon yang berdering tak tahu waktu?

Lalu, tentang kabar toilet ‘pribadiku’ itu, masihkah akan tetap mengalirkan air bersih berwarna jernih? Atau malah serupa sirup memerah dengan aroma anyir serupa darah?

Kalau kau tak hendak membacanya, kusarankan, hentikan saja saat membaca, atau minta tolonglah salah satu teman untuk menemanimu.

Ya, kamar nomor 2204. Aku tetap bertahan dalam kesendirian setelah perempuan misterius itu pergi bagai jailangkung. Datang tak dijemput, pergi tak diantar. Menggulung diri menggunakan selimut hotel yang tebal adalah pilihanku selanjutnya. Persis seperti enthung, kepompong dalam metamorfosis kupu-kupu. Selimutku malam itu tak hanya menutup tubuh, tetapi juga wajah dan kepalaku.

Sialnya, meski sudah membungkus diri sedemikian rupa, mata ini tetap juga tak bisa terpejam. Kantuk menghilang, entah kemana. Akhirnya kudaraskan saja ayat kursi hingga berbagai hafalan surat pendek yang aku bisa. Setan, demit, menyingkirlah, kecuali kau hendak mengajakku diskusi yang asyik-asyik...tapi itupun tunggulah besok pagi. Biarkan aku tidur nyenyak malam ini. Tahu, kan, aku besok harus presentasi. Jangan biarkan mata panda hadir menghiasi wajah imutku ini...

Alhamdulilah, Allah dengar juga doaku. Dari jelang pukul satu dinihari hingga alarm berbunyi pukul 04.00 pagi, aku tertidur lelap. Tidak ada petualangan hebat di alam mimpi. Allah telah melelapkan tidur malamku.
“Assalamu’alaikum, Mbak Miranti...”

Sebuah ketukan bersamaan dengan sebuah panggilan terdengar dari balik pintu. Kalau ini haqul yaqin, dia bukan perempuan berwajah sepias perempuan yang datang semalam. Ini sudah pukul 06.30 Wib, yang piaspun pasti sudah bebedak dan pakai lipstik, kan?

Tapi, eh, itukan manusia. Kalau bukan?

Jantungku dag dig dug der.

Tapi dia menggunakan assalamu’alaikum, kok?

Kulihat dari lubang pengintip kecil yang ada di pintu hotel. Dia berwujudkah?

Ah, ternyata sosok mungil nan manis berseragam panitia, rupanya.

“Waalaikum salam, tunggu sebentar,” jawabku sambil memasang jilbab pashmina kuning kunyit. Yes, meski semalam hanya tidur tak lebih dari 3 jam, toh, penampilan harus terlihat segar. Memakai warna genjreng salah satu yang jadi andalan buatku yang tak terlampau fasih berdandan.

Rupanya Mbak Diandra, salah satu panitia pusat yang sudah berdiri di depan pintu.

“Nyenyak tidurnya semalam, Mbak?” tanyanya sok akrab.

Yeah, sok akrab, karena sebenarnya aku juga tak mengenalnya secara pribadi. Meski sering berada di kegiatan workshop seperti ini, namun wajah itu masih sangat asing di mataku. Tapi jelas, wajahnya tak pias, dan rambutnya mungkin saja ombrey, atau benar menghitam panjang. Aku tak tahu itu, karena selembar kerudung berwarna peach melindungi mahkotanya itu.

Lalu, bagaimana aku mengenalinya?
Tentu saja teramat mudah. Nametag yang tergantung di dadanya, tak mungkin punya tetangga, kan? Sementara dia, aku yakin list di daftar penghuni kamar yang ada di tangannya itu sumber data paling akurat.

Atau...ah, bisa jadi aku memang sudah terkenal. Nyatanya perempuan berwajah setengah pias itu saja sampai sengaja menyambangi kamarku..uhuks banget, kan? Naluri riyaku meletup-letup seketika. Ge er...

Aku menatap wajah Mbak Diandra serius.

“Mbak, ada peserta, atau siapapun yang semalam mendapat kamar sendirian seperti saya?” tanyaku pada panitia bertubuh mungil yang sepagi itu sudah terlihat cerah dengan seragam dinas dan riasan ringan di wajah itu.

“Laki atau perempuan, Mbak?”

“Perempuan. Berambutnya panjang dan berwarna pirang, berkulit putih, dan wajahnya...sedikit p..i..as!”

Wajah Mbak Diandra seketika menegang.

“Tak ada peserta yang mendapat kamar single bed, kecuali panitia dan narasumber. Dan itu hanya Mbak Miranti,” ujarnya, “Jangan-jangan...hemmm.”

“Ada apa, Mbak?” naluri investigasiku meronta-ronta. Wajar saja, meski tak memiliki kartu PWI, aku pernah aktif sebagai jurnalis radio, dan sesekali menulis di media sebagai wartawan dan penulis freelance.

“Oh, tidak, tidak,” jawab Mbak Diandra seperti menyembunyikan sesuatu.

“Semalam dia sempat tidur di kamar saya,” ujarku sambil menatap lekat wajahnya. Kegelisahan yang nampak di sudut matanya membuatku yakin, dia tahu sesuatu tentang hal ini. Apalagi workshop ini kali kesekian terselenggara di hotel bernuansa Jawa yang adem ini.

“Ehm, apakah dia mengganggu Mbak Miranti?”

“Tidak juga. Saya pikir, dia hanya mau berkenalan saja. Cuman nggak sopan saja datang malam-malam, kemudian pergi begitu saja,” ujarku sok cuek.

Kusunggingkan sebuah senyuman termanis kepada perempuan di depanku itu. Pada saat yang bersamaan pula, aku seperti melihat senyum itu...Senyum aneh dari seorang perempuan pirang ...

Ah, dimana dia? Aku baru saja aku melihatnya di...

Sesuatu mulai terasa menjalar aneh di tengkukku ....

Kami telah menuruni lantai dua dan sempat berhenti sejenak di selasar, tepat di depan pohon beringin yang terlihat gagah namun singup, besar, kokoh, dan penuh misteri. Aku merasakan aura yang begitu kuat dari pohon itu.

“Iya, Mbak. Saya tak tahu pasti sebenarnya tentang cerita itu. Tapi kabarnya, di malam-malam tertentu, biasanya jelang pertunjukan wayang di bawah pohon beringin itu, memang sering ada penampakan noni-noni Belanda berambut panjang. Apakah yang datang malam itu adalah dia?”

“Oh ya? Jadi kisah tentang perempuan berambut panjang dengan wajah sedikit pias itu memang ada? Dan dia...dia...”

Kamarku adalah kamar pertama persis di samping tangga di atas selasar itu...

“Mbak Diandra pernah dengar cerita tentang dia? Namanya?”

“Hanya sekilas, Mbak. Saya tidak terlalu suka hal-hal mistis. Namanya, kalau tidak salah Ha..Han..oh iya, Hannah!” seru Mbak Diandra. Aku terlonjak kaget.

Huh, perempuan berkacamata, yang sangat kusuka sepatu bootnya itu, terlalu bersemangat rupanya...

‘Ya, setahuku nama itu. Orang-orang menyebutnya begitu. Hanna... atau Hannah. Nama itu, benar, nama itu!” imbuhnya lagi.

Mbak Diandra bersama timnya sudah berbulan-bulan mengadakan kegiatan di hotel ini. Wajar jika dia mendengar cerita-cerita yang lebih sering hanya menjadi kasak kusuk kecil di antara karyawan hotel, dan dirahasiakan bagi para tetamu.

Aku simpan nama itu. Hannah, atau Hanna. Ah, siapapun namanya, siapa dia sebenarnya? Mengapa dia masih suka berkeliaran dan menyapa para tetamu yang menginap di hotel ini? Baikkah dia, atau malah sebaliknya?

Aku harus mencari tahu.

Pada siapa ku harus mencari tahu?

Pihak hotel?
Nonsens. Ini pasti satu rahasia yang akan selalu ditutup rapat.

“Kapan pertunjukan ringgit itu akan diadakan, Mbak?” tanyaku pada akhirnya.

“Menurut kabar dari panitia, dua hari lagi.”

Fiks, sekarang ini Selasa, berarti dua hari itu, malam Jumat Kliwon. Malam sakral dalam penanggalan Jawa!

Sesuatu masih merambati tengkukku. Aku merasa ada seseorang yang mengikutiku sedari tadi ....

“Halo, Bu Miranti, apa kabar?”

Sapaan seseorang mengejutkanku. Astaga, kami telah berada di depan resto rupanya.

“Halo..” sambutku tak kalah hangat, pada seseorang, yang jujur saja aku lupa, atau bahkan aku memang tak mengenalnya sebenarnya. Yang pasti dia salah satu peserta di workshop ini. Tangannya terulur menjabat tanganku. Cipika cipiki sejenak...saat mataku menangkap sekelebat bayangan perempuan itu...

Perempuan itu?

Siapa dia?

Penasaran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar