Oleh : Budiyanti
Sudah hampir tidak bulan aku kehilangan jejaknya. Kucari ke berbagai tempat tidak kutemukan. Chatingku satu pun tak berbalas. Hanya sesaat on lalu hilang tak berbekas. Entahlah mungkin dia ingin lepas, tak ingin bersamaku lagi.
Berulang kali aku telepon juga tidak ada nada sambung.
"Huhhh, ke mana saja sih?" gumamku dengan rasa kesal. Akhirnya kudiamkan saja. Namun, pikiran tak juga lepas darinya.
Akhirnya kuketahui alamat rumahnya. Segera keberanian diri ke rumah lelaki yang bernama Ardi.
Mendung menggantung di langit, sebentar lagi pasti akan ada rintik hujan. Tekadku bulat untuk mencarinya. Ada beban yang berat yang harus kutanggung jika aku tak mencarinya.
Bress
Hujan datang sesaat aku sudah di rumah Ardi. Garis-garis lurus menghujam bumi. Aroma tanah menusuk hidung. Sesaat anganku melayang ke rumah orang tuaku belasan tahun silam.
Ah...lupakan dulu.
Tampak lelaki yang kucari berdiri di dekat kursi tamu. Sorot matanya tersirat rasa heran. Tak mengira sama sekali aku berada di rumahnya. Sesaat kemudian ia mempersilakan aku duduk di kursi kayu yang sudah usang. Kursi yang tidak utuh. Di sana- sini ada lubang menganga.
Beberapa makanan lebaran masih tertata rapi di meja kecil dalam sebuah toples bening. Terlihat ada roti kering, kacang bawang dan makanan lainnya yang berwarna-warni. Semuanya tinggal separuh dari isi toples plastik.
"Ardi ... ke mana saja kamu, kucari ke mana-mana tidak ada. HP mu tak bisa kubuka. Chatku yang begitu banyak kau abaikan?" tanyaku dengan rasa geram. Dada sesak. Memandang lekat wajahnya yang kuyu. Rambutnya yang agak kemerah-merahan tampak awut-awutan.
Ia tetap bergeming. Ada rasa sesal di wajahnya. Sudut matanya berembun. Android warna biru di pegang erat.
"Kau blokir ya nomorku?" tanyaku tanpa ragu.
Ia terus diam seolah mengiyakan ucapku.
"Lantas apa maskudmu Ardi, sudah tidak butuh ibuk lagi, atau kau ingin menghindar dari berbagai tugas dariku?" tanyaku untuk ke sekian kalinya. Aku berusaha meredam gejolak hati.
Sesaat kemudian seorang ibu paruh baya keluar dari dalam. Membersamai kami. Ibu ini seketika matanya basah seolah tahu pembicaraan kami. Ia pegang anak jejakanya. Dielus-elus kepalanya.
"Ardi jujurlah pada ibu guru yang sudah repot-repot datang ke gubuk kita, jadi selama ini kau abaikan ibu guru ini ya?" ucap ibu yang wajahnya tampak tua dari usianya. Bocah kecil yang agak dekil dipangkuannya.
Air mata Ardi makin menderas sederas hujan siang ini. Tak terasa sudut mataku basah. Ikut hanyut dengan perasaan ibu dan anak yang penuh gejolak.
Bagaimana tidak ikut terbawa dalam perasaan ini, si ibu bercerita bahwa beberapa waktu lalu Ardi, siswa kelas dua SMP itu minta dibelikan HP untuk bisa mengerjakan tugas. Ibu yang kini di rumah saja sejak ada corona , berujar jika ia terpaksa ngutang pada "bank titil_ ( istilah bank keliling yang bunganya mencekik leher) untuk beli HP.
Semua ditempuh demi anak sulungnya. Namun, kini hanya kekecewaan yang bersemayam. Semua tugas gurunya selama tiga bulan diabaikan.
"Maafkan anak saya ibuk, saya sudah mengingatkan setiap saat. Bahkan dua hari sekali saya belikan pulsa untuk bisa mengerjakan tugas. Namun, kenyataannya tidak satu pun tugas tidak dikerjakan," ucap ibunya Ardi sambil mengusap air matanya.
"Ardi, selama ini HP mu untuk apa? Sudah kau bohongi ibumu ini. Ibuk malu, Nak. Ibuk bersusah payah menyisihkan uang belanja dari bapakmu untuk bisa mengangsur cicilan HP agar cepat lunas. Tapi kau tega mengkhianati ibuk. Kalau kau tak mau sekolah bilang saja!" ucap ibunya Ardi tinggi. Matanya merah. Tangannya mencengkram. Ingin menguliti raga Ardi.
"Sudahlah Bu, ini pembelajaran bagi kita. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang saatnya berbenah diri," ucapku lirih. Kupegang tangan ibu Ardi.
"Maafkan kami Ibuk. "
Aku mengangguk.
" Ardi, sekarang tugas yang sudah dikerjakan bawa ke sini. Biar saya bawa!" kataku pelan.
Ia pun menuju kamar. Sesaat kemudian ia keluar membawa satu buku.
"Ini buk," suaranya melemah.
"Selama tiga bulan baru satu tugas?" cecarku penuh keheranan.
Ardi diam.
" Ya sudah, ibuk pulang dulu lalu segera kirim tugas pada gurumu satu demi satu, tetap semangat ya biar rapormu nilainya bagus!"
Ibu dan anak mengangguk. Hujan reda aku pun berpamitan pulang. Membawa sejuta rasa. Potret anak zaman now terus bersemayam di anganku. Tugas orang tua tak mudah ternyata. Sesaat terlintas ketiga anakku yang kini sudah dewasa.
"Alhamdulillah ya Allah, " gumamku sambil berjalan menyusuri jalan setapak untuk pulang.
Ambarawa, 7 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar