Sinopsis.
Bagai sebuah petualangan yang menegangkan bagi Miranti. Dia yang mendapat job menjadi narasumber workshop di sebuah hotel berkonsep heritage ini harus mendapatkan sederet teror yang tak menyenangkan. Dari mulai kamar mandi yang tiba-tiba tak bisa dibuka, telpon tengah malam, hingga kedatangan perempuan misterius yang mendadak meminta ijin menumpang tidur. Siapa sebenarnya perempuan itu? Lalu, siapa pula Hannah van Eiken?
Kamar 2204
(Part 7)
“Mbak Diandra, nanti malam, Pak Maksum, dan kawan-kawan biar rapat di kamarku.
Ah, maafkan, aku tak minta pendapat kalian dulu. Yang pasti malam ini, aku tak sendirian dulu. Oh, ya, kebetulan ada Pak Maksum. Beliau akademisi yang nyambi kyai, atau kyai yang berprofesi sebagai akademisi? Tak pentinglah itu. Mungkin nanti aku akan berbicara tentang apa yang terjadi....
Malam ini aku betul-betul menikmati kebersamaan dengan kawan-kawan seperjuangan. Sedikit aku juga bercerita tentang kejadian yang aku alami semalam. Ternyata, mereka sudah mendengar kasak kusuk itu sebelumnya. Mbak Diandra sempat membahas kemungkinan pindah kamar rupanya. Oke, artinya semua sudah tidak ada masalah.
Kamarku terbuka lebar. Silakan saja yang mau bergabung, monggo. Tidak, bukan untuk ngerumpi hal-hal yang tak penting. Tapi kita sedang berbicara tentang gerakkan literasi bersama. Bukan hanya untuk kalangan pelajar atau anak-anak jalanan. Tetapi untuk semua kalangan. Bukankah belajar itu sepanjang hayat, dan pendidikan untuk semua? Lifelong education, education for all.
“Literasi sekarang ini sudah menjadi sesuatu yang darurat. Kita perlu memerangi hoax, itu salah satu gerakan yang saat ini sudah masuk pada kondisi darurat,” ujar Mbak Fitri, salah satu pegiat literasi dari bumi Kalimantan.
“Jangan lupa, kita juga punya banyak PR yang harus diselesaikan. Banyak kasus-kasus sex abused yang pelakunya justru orang-orang terdekat. Kasus NF misalnya, itu juga harus jadi perhatian kita bersama. Ini bukan hanya masalah parenting, tapi sex edukasi.”
Bu Icut, salah satu pegiat literasi dari ujung timur Pulau Jawa ikut bersuara.
Ya, kami pegiat literasi memang tak hanya bicara tentang bagaimana kita meningkatkan, membudayakan , dan melestarikan minat baca, dan kemudian mengajak pula untuk menulis. Tetapi, sebagaimana telah disepakati dalam World Economic Forum tahun 2015, ada 6 literasi dasar yang harus dikembangkan sebagai prasyarat kecakapan hidup pada abad 21 ini. Selain literasi baca tulis, ada juga literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, hingga literasi budaya dan kewargaan.
Eh. Literasi numerasi? Yup. Ini adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan simbol-simbol yang terkait dengan matematika praktis untuk memecahkan berbagai macam masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ribet? Tidak juga. Kita bahkan bisa memulai dengan hal yang paling sederhana. Mengajak anak-anak bermain dengan dolanan tradisional saja. Dakon, seteninan (bermain kelereng), benthik, dan berbagai jenis kegiatan ringan yang lainnya.
Di daerah lain, tentu banyak juga permainan tradisional lain yang juga bisa digunakan sebagai sarana belajar. Halma? Monopoli? Catur? Mengapa tidak?
Malam semakin merayap. Diskusi berlangsung hangat. Tak terasa hampir jam satu pagi. Satu kesimpulan bersama, semua harus bergerak, menggandeng dan bersinergi dengan semua pihak, baik personal maupun institusional, Kampus, instansi pemerintah, CSR perusahaan ...
Dan jelang dinihari, sembilan orang yang merapat di kamarku akhirnya membubarkan diri. Namun nampaknya berita tentang penampakan yang hampir selalu ada di jelang acara pringgitan itu memang sudah beredar luas. Buntutnya, Pak Maksum dan Pak Ali yang kebetulan dua lelaki yang ada di grup diskusi, ketiban sampir harus mengantar Bu Icut, Bu Fitri, dan Mbak Hanny ke kamar mereka yang ada di lantai 4.
Sementara sisanya memilih bertahan untuk tetap di kamarku. Untel-untelan , tak masalah. Toh hari sudah menjelang pagi. Semuanya positif thinking, kita berbuat baik, maka tak akan ada gangguan yang mengusik. Alhamdulliah, inilah nikmatnya memiliki pertemanan dengan orang-orang yang selalu berfikiran positif.
Jarum jam semakin bergulir ke arah kanan. Aku melihat Mbak Iyan dan Mbak Tasya sudah mulai berkelana ke dunia mimpi. Dengkur halus mereka kurasakan sebagai ajakan untuk turut menjelajah alam mimpi.
Sudah jelang pukul 03.00. Mari berdoa, Ya, Allah, ijinkan aku terlelap malam ini. Ijinkan semua alam pikiranku merebah bersama tubuh yang sudah meronta letih ini. Lindungi kami, ya, Allah.
Alhamdulillah, aku benar-benar terlelap, pulas. Betul-betul dua jam yang menyenangkan, hingga saat alarm pukul 05.00 berbunyi, aku sudah kembali segar untuk menuntaskan segala pertanyaan yang masih tersisa kemarin.
Semua kawan sudah ijin untuk kembali ke kamarnya. Meski baru bakda subuh, matahari yang mulai menyapa ramah, membuat wajah-wajah terlihat sumringah. Juga wajahku.
“Kita ketemu nanti di ruang makan.”
Dan aku akan segera melanjutkan aktivitasku. Membuka kembali file-file yang harus aku urus. Oh iya, rasanya dari kemarin aku bahkan belum menelepon Mas Bramantyo, suamiku.
“Assalamu’alaikum, Sayang..” Sepotong wajah yang dari kemarin kurindui muncul di layar hp. Tangannya melambai,”Tak kangen akukah?”
“Pastinya. Maaf, ya, kemarin aku bahkan tak sempat menghubungimu...”
Ya, kemarin aku memang hanya sempat berkabar lewat chat wa saja. Tentang penundaan kepulanganku.
Pagi ini, aku akan menyempatkan sejenak pacaran dengan kekasih halalku ini. Aku rindu. Melihat wajahnya yang tersenyum itu, ah, tak usahlah kau tanya rasaku. Ya, wajah Mas Bram memang selalu tersenyum. Pada wajah dan senyumnya itu aku selalu meneduh. Dia hampir tak pernah marah padaku. Hampir lima tahun aku mengenalnya, dan sepanjang itu pula kami saling mempelajari karakter dan kepribadian masing-masing.
Setahun pernikahan, tentunya pernikahan yang indah dalam satu komitmen yang kami sepakati bersama. Saling percaya dan saling support untuk kegiatan dan aktivitas masing-masing.
“Sayang, kok melamun..”
“Aku kangen, Mas. Berat!”
Aku adalah pintu dan jendela yang selalu terbuka baginya. Ketika aku sudah memutuskan menjadi bagian dalam hidupnya, maka dia telah menjadi nadiku pula. Tak akan yang kututupi tentang perasaanku padanya. Juga tentang rasa kangen yang tetiba membuncah ini. Aku memang kangen, sangat kangen.
“Beneran, nih, kangen...Biasanya berhari-hari di luar kota, kamu biasa aja...”godanya.
Pipiku mungkin memerah. Aku merasakan hawa panas yang mengalir dalam tubuhku. Ah, Mas...
“Mas Bram hari ini tidak ada jadwal keluar, kan? Susul aku, ya..kita nginep di sini semalam,”ujarku setengah memaksa.
Dia pasti mendengar tarikan nafasku. Sinyal hp nampak sedang bagus-bagusnya pagi ini. Mustahil kalau dia tak bisa mendengar dan membaca kerinduanku. Aku bahkan sudah memutuskan untuk memperpanjang semalam lagi di kamar ini. Check ini atas namaku sendiri, Miranti Larasati. Fix, bukan uang negara.
Sejujurnya, ini bukan masalah kerinduanku pada Mas Bram saja yang membuatku memintanya menemaniku malam ini. Toh, acaraku sudah selesai, dan saat inipun bila aku hendak pulang, tak akan ada yang melarangku. Tapi misiku untuk memecahkan rahasia itu belum selesai. Rahasia tentang Hannah van Eiken yang belum juga terbongkar.
“Baik, istriku sayang, usai meeting siang ini aku segera menyusul bidadariku yang manja ...”
“Aku nggak ngangenin, Mas?” rajukku. Entahlah, meski usiaku sudah kepala tiga, tapi aku merasa ada bagian inner childku tak rampung sempurna. Mungkin ini yang seringkali membuatku sering merajuk dan terlihat sangat kekanakan.
Dari seberang, kudengar, eh, kulihat juga, lelakiku tertawa. Kalau aku ada di sampingnya saat ini, pasti habis sudah rambutku dikacaunya, dan...kau tahu, kan, apa yang akan terjadi berikutnya? Uhuks..
“Tentu saja aku kangen. Manjamu itu, lho, Diajengku, yang selalu ngangeni.”
Dia menutup kalimatnya dengan tertawa, ”Sudah dulu, ya?! Mas selesaikan tugas kantor dulu, nanti kangen-kangenannya kita lanjutkan kalau kita sudah ketemu,”lanjutnya genit.
Layar hape tertutup. Kakiku bergegas meluncur ke ruang makan.
“Halo...”
Sebuah suara mengejutkanku.
Astaga... Mbak Diandra. Dia sudah ada persis di depan mataku ini. Dari tadi pikiranku kemana? Kok sampai dara cantik ini di depan mata, aku tak ngeh juga.
“Dari tadi saya di sini, loh... tapi dicuekin..” ujar Mbak Diandra sambil tertawa.
Olala, rupanya saking asyiknya teleponan sama Mas Bram, sampai-sampai aku bahkan tidak mendengar panggilan Mbak Diandra.
Mbak Diandra mengajakku jalan kaki saja untuk menuruni tangga menuju resto di lantai 1.
“Serem, ih, Bu, kalau lihat perempuan itu seperti kemarin,” ungkapnya saat kutanya, mengapa lebih memilih jalan kaki, bukan naik lift seperti biasanya.
Aku tersenyum. Aku bahkan sudah merasakan hadirnya sedari tadi. Noni-noni bule itu memang nampaknya selalu ingin mengikutiku kemana saja. Semoga tidak untuk malam nanti, saat aku sedang ingin berdua dengan Mas Bram saja.
“Tapi perempuan itu sepertinya baik, kok, Mbak. Dia hanya muncul saja dan tidak pernah mengganggu,”jawabku.
Aku melongok pohon beringin yang saat ini sudah mulai berdandan. Ini Kamis, dan nanti malam adalah waktunya untuk pementasan wayang kulit. Aku belum tahu pasti apa lakonnya, tetapi aku bahkan bertahan dengan remang di bulu kudukku hanya karena menanti momen yang bagiku terasa sangat mistis ini. Apalagi yang akan aku dapatkan hari ini?
Aku tak melihat apa-apa dan siapa-siapa.
Dimana Hannah? Mengapa dia tidak menyusulku pagi ini?
Ah. Sepertinya dia bisa membaca kata hatiku. Di kursi sudut di ujung resto, Hannah terlihat duduk sendiri. Sejenak dia memandangku dengan senyuman, sebelum seseorang menyapaku. Dan dalam sekejap, dia telah tak lagu kutemui.
Ya, aku dan Hannah. Apa sebenarnya hubungan kami? Perempuan itu masih menjadi sebuah misteri besar bagiku.
&&&
Waktu masih teramat longgar. Sementara orang-orang bersiap check out, aku malah mempersiapkan diri untuk kembali menemui Mbah Uti. Tapi rasanya tak cukup elok bila aku harus berkunjung pada jam-jam sibuk. Mungkin saat ini Mbah Uti sedang mencuci atau masak, siapa tahu? Lebih baik kubuka laptop dahulu.
Namun belum lagi laptop kubuka, hawa dingin yang aneh menyergapku. Kantuk hebat memerangkapku, hingga tak mampu lagi aku menahan kelopak mataku untuk tetap terbuka. Aku kembali terjebak ke masa itu...
Taman yang asri dengan pohon angsana yang memayungi pelataran nan luas. Nusa indah, flamboyan, mawar dan melati, juga lili yang bermekaran. Gedung berarsitektur Belanda dengan pilar-pilar yang kokoh dan atap yang menjulang. Dinding-dinding dengan lukisan ala Victorian, ruusbank, dan sesamar lagu Als de Orchideen Bloeien.
Juga sepasang kekasih yang sedang memadu rindu...
Suasana sendu nan romantis masih menyergap. Ah, entahlah, aku merasakan kesenduan itu. Ada hawa kepiluan yang mengiris, meski semenjak tadi aku melihat betapa dua sejoli itu menari dengan begitu romantis.
Nampaknya intuisiku benar. Aku yang bersembunyi di ruusbank yang tertutup pilar besar, menyaksikan dengan mataku, sosok bule tiba-tiba datang dengan mata penuh amarah.
“God verdomme , siapa orang yang berani-beraninya ganggu anak ik?! Hannah.... Hoerendop !!!”
Tubuhku bergetar hebat. Lelaki tinggi besar dengan mata biru yang membara karena amarah itu begitu dekat denganku. Dia tak datang sendirian. Ada selusinan orang yang datang bersamanya. Tak semua berkulit putih. Sebagian lagi berkulit gelap. Wajah pribumi...
Mereka menyeruak masuk ke dalam kamar, mendobrak pintu yang tertutup rapat.
Tuhan, lindungi mereka !!
Si lelaki bule dan para pengawalnya, persis di depan pilar, yang menyembunyikan tubuh mungilku..
Tuhan, lindungi aku !!
Dan tiba-tiba sesosok tubuh lelaki dengan kulit gelap dan hidung bangir pribumi, diseret kasar dari dalam kamar....
Lelaki itu...
Aku menatapnya nanar...
Dia...dia...
Siapa?!
Tunggu di part berikutnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar