Tirta
Nursari
Lembayung senja perlahan
mulai menyirna, menyisakan gelap yang kian memekat. Anak-anak kecil tak lagi
terlihat bermain di buk bata di bawah pohon jambu, tepat di tikungan jalan.
Para orang tua atau pengasuhnya sudah memanggilnya pulang.
“Hampir
maghriban..tak elok masih bermain di luaran,” kata mereka.
Buk bata lantas
menyepi, tapi bukan berarti dia sendiri. Ya, selama beberapa hari ini, di
setiap jelang maghrib, saat anak-anak pulang ke rumah, sosok misterius itu
selalu datang. Sosok perempuan, cantik, kukira. Tubuh semampai tersembunyi
samar di dalam balutan gamis longgarnya. Langkahnya tingkas. Dan seperti
kemarin dan kemarinnya lagi, dia akan selalu duduk sejenak di bangku bata itu.
Matanya menekuri langit. Bola mata belo itu, aku membacanya kelam, meski
sesungguhnya aku hanya bisa meraba dengan penuh kiri-kira. Separo wajahnya yang
tertutup niqob, sungguh tak bisa membuatku mengenalinya dengan leluasa. Namun di sudut hati terdalamku, naluriku berkata, dia
tak asing buatku. Namun aku tak berani menerka...
Perempuan itu
irit bicara. Namun aku selalu mendengar desah nafas beratnya, dan desir di
dadanya..
Perempuan
itu..perempuan semisterius malam...
Oya, perkenalkan, namaku Anggita. Panggil saja
aku dengan Anggi, atau...Ita, pun boleh. Aku tinggal di pengkolan Gang Cemara. Tak
sampai seratus langkah jarakku dari masjid Al Ikhlas, masjid satu-satunya yang
ada di kampungku. Jadi, kalau aku bisa melihat, dan mengamati perempuan itu
dengan sempurna, wajarlah, karena pohon jambu itupun masih berada di pekarangan
rumahku. Rumah yang memang ‘mangku’ masjid. Dan perempuan itu, yang entah siapa pula namanya, selalu datang tepat saat aku
menyiram bunga-bunga cantik di halamanku ini.
Perempuan itu
semisterius bulan. Dia datang saat malam hampir menjelang, dan menghilang tengah
malam. Hey...dia perempuan...ini bukan hal yang lazim baginya yang berbusana
syar’i, namun penuh misteri. Lima hari aku mengamatinya, sejak kehadirannya
yang membuat jamaah masjid bertanya-tanya. Dia yang hemat suara, menunjukkan
keramahan lewat sudut mata kelamnya, dan anggukan tubuh, isyarat salam
hormatnya. Buk merah yang selalu sunyi di sore hari, kini selalu punya
penghuni, perempuan berlangkah tingkas yang selalu memandang langit, sebelum
mengambil air wudhu, dan khusyuk dengan dzikirnya sembari menunggu manghrib.
Aku mendengar
bisik-bisik jamaah yang mulai menggunjing perempuan yang hanya menjawab
pertanyaan dengan anggukan atau gelengan kepala itu. Benar-benar perempuan
misterius yang irit bicara.
“Assalamu’alaikum,
Ibu,” aku menyapanya, mengajaknya bicara sembari mengulurkan tangan mengajaknya
berjabat.
Perempuan itu
menjawab lembut dengan dengan senyum ramah yang berpendar lewat tatap netranya.
“Waalaikum
salam,” jawabnya.
Tanganya kembali
menyulam tasbih. Azan maghrib sudah terdengar. Dan perempuan itu sudah
mengambil posisi di shof terdepan. Aku yakin, selain agar sholatnya khusyuk,
diapun menghindari pembicaraan. Lihat saja, usai mengikuti sholat maghrib
dengan tertib, dia pasti akan langsung beranjak mengambil Al Qur’an,
melanjutkan tadarus dengan suara lembutnya, hingga Isya menjelang. Setelah itu,
dia akan beri’tiqaf hingga tengah malam.
Didera penasaran, aku memang selalu mengintipnya dari balik gorden
kamarku..
Melihat tingkas
langkahnya, melihat betapa beraninya dia keluar sendirian dalam gelap malam.
Aku yakin, dia bukan perempuan biasa.
Oh, aku bukannya abai
dengan perempuan itu. Satu dua kali datang, aku sudah berusaha menyapanya. Pun
saat aku menanyakan kepadanya, mengapa seorang perempuan sepertinya, i’tikaf di
masjid, hingga tengah malam. Bukankah ini janggal? Tapi perempuan itu hanya
menjawabnya dengan senyuman, nyaris tanpa suara. Sekali waktu dia berkata-kata,
entahlah, mengapa aku merasa begitu akrab dengannya. Ya, aku memang tak asing
dengan tatap matanya. Juga suara lembutnya. Tapi aku tak berani menduganya....
Perempuan itu,
siapa?! Mengapa aku merasa begitu dekat dengannya?
Perempuan
bercadar hitam. Irit bicara, semisterius malam. Datang tak diundang, pergipun bak
menghilang. Kemana? Tak seorangpun mengetahuinya. Aku mendengar, sangat jelas
mendengar, orang-orang mulai kasak kusuk, menggunjingkannya. Teroriskah
perempuan itu? Dan aneka praduga menggulir liar. Jangan-jangan dia transgender,
komunitas pelangi? Pelaku kejahatan yang
sedang menyamar...atau mungkinkah dia anggota crosshijaber seperti yang sempat ramai diperbincangkan di media
massa..
Ya, gunjingan itu
semakin kencang dan liar....Orang-orang mulai sok peduli. Parahnya, mereka
mulai paranoid pula..fitnah dan ghibah mulai merebak dan menggoncang stabilitas
desa..
Jangan-jangan itu
perempuan yang disusupkan ISIS..
Jangan-jangan itu
perempuan yang diselundupkan teroris untuk menyelidiki desa---
Jangan-jangan,
dan jangan-jangan......seribu..beribu praduga.....Berjuta prasangka...
Orang-orang mulai
menyiapkan pengintaian. Mungkin penggrebegan. Rapat darurat diadakan, hanya
untuk membahas perempuan bercadar hitam. Aku mendengarkannya dari balik pintu kamarku. Rapat
itu memang tidak digelar di dalam masjid, tapi di rumah pak Sumo, bapakku, tetua kampung yang kebetulan juga menjadi takmir masjid di
kampung ini.
“Kita tanyai saja
perempuan itu baik-baik...siapa dia.....” Itu suara bapakku. Sebagai sesepuh
desa, dan juga pengurus masjid Al Ikhlas, beliau tak pernah gegabah mengambil
langkah. Pun saat menghadapi perempuan misterius itu, yang tanpa sadar telah
membuat suasana masjid dan situasi desa tak lagi tenang.. Kehebohan yang membuat
takmir masjid mengambil langkah, mengadakan rapat darurat!
“Ah.. percuma.
Istri saya..dan ibu-ibu jamaah masjid sdah mencoba menanyainya...Tapi perempuan
itu membisu...”
Pak Sastro,
lelaki mantan jawara desa, menyahut ketus. Para peserta rapat dan beberapa ibu jamaah masjid yang sengaja dihadirkan
dalam ‘rapat’ itu menyahut bak laron di musim penghujan...Berdesing-desing tak
karuan...
“Saya juga sudah
mencoba menanyainya. Tapi dia hanya hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan
kepala..”
“Saya juga..”
“Perempuan itu
terlalu misterius..”
“Tapi saya
seperti mengenalnya...”
“Saya juga..”
“Iya..saya juga.”
“Saat ini negara kita
sedang sensitif, genting... Kita harus waspada. Jangan sampai kita
kecolongan...”
Akhirnya Pak Sumo
mengambil keputusan, ”Besok kita akan paksa wanita itu bicara. Disini, di
ruangan ini.”
“Ya...ya...ya....ya...!”
suara itu kembali bak laron terbang...
Hampir tengah
malam, rapat darurat bubar. Sepakat, bakda maghrib, besok hari...perempuan itu
akan dipaksa bicara.....
Perempuan itu,
siapa dia sebenarnya?
Dari balik
dinding kamar, aku hanya bisa berdoa, semoga semoga semua masih bisa menahan
diri. Tak ada yang gegabah, main hakim sendiri. Entahlah, aku yakin, dia
perempuan yang kukenali. Dia bukan perempuan yang asing disini...
***
Bulan masih
memamerkan sinarnya di tengah gelap malam. Alam begitu tenang. Suara kodok
telah lama menghilang..apalagi suara jengkerik yang sudah tak lagi mengerik.
Jalanan desa memang sudah lama berhias beton, sehingga pemusik malam itu
perlahan menepi..tak lagi memiliki ruang untuk menggelar konser pribadi.
Jelang pukul
sebelas malam. Sebuah mobil mungil berhenti di sebuah rumah, bersebelahan RW dengan
masjid Al Ikhlas. Tak perlu memencet bel atau klakson untuk membangunkan sang
penghuni, karena sang sopir telah lebih dulu meloncat turun. Seorang perempuan
berlangkah tingkas. Menggeser pintu gerbang yang lumayan berat, dan memasukkan
mobil di teras berkanopi, dan lincah mengunci pintu gerbangnya kembali. Membuka
pintu jati, tanpa bunyi berderit, perempuan cantik berhidung bangir itu segera
menuju kamar putrinya. Duhaiii.. inilah para bidadarinya, yang akan selalu
menyejukkan matanya, meski di saat duri menusuk ulu hatinya. Sepenuh hati dikecupnya
kening bidadarinya lembut, sambil dilantunkannya shalawat dan sebaris doa, sebelum
kaki jenjangnya yang telanjang berjingkat keluar kamar. Mengecek semua pintu
dan jendela, mematikan lampu-lanpu yang tak diperlukan, barulah dia bebersih
diri.
Perempuan itu,
Gunanti namanya. Semua orang melihatnya sebagai perempuan sempurna. Betapa
tidak? Tak hanya cantik, perempuan ini juga cerdas dan memiliki karier yang
bagus. Kabarnya, dia seorang branch manager sebuah lembaga perbankan ternama.
Oh, sungguh sempurna. Dan kesempurnaan itu semakin lengkap rasamya, saat
perempuan bermata indah ini bersanding dengan Bramantyo Adiguna. Lelaki
setampan Marcelinno Lefrandt dengan dada sixpack yang
akan selalu membuat para perempuan ternganga, saat Minggu pagi dia suka membuka
baju saat mencuci mobil di pelataran rumahnya. Ya, begitulah Bram. Tak hanya parasnya
yang tak jauh beda dengan aktor ganteng itu, namun juga profesinya. Kebetulan
pula, Bram pun seorang dosen dari sebuah perguruan tinggi ternama. Hemmm,
seorang perempuan memesona, bersanding dengan seorang dosen yang ganteng, gagah, dan macho pula. Kurang
apa? Tak heran, bila banyak orang iri dengan pasangan ini.
Oh iya, dua bidadarinya,
Leticia dan Aira. Aduh, nama yang indah, bukan? Seindah wajah rupawan mereka
yang merupakan perpaduan ayah dan ibundanya. Cerdas pula keduanya. Leticia baru
saja pulang dari Singapura usai mengikuti olimpiade matematika. Aira? Tak mau
kalah dari kakaknya, gadis cilik berambut Dora ini baru saja memenangkan sebuah
kontes adu cerdas di kotanya. Betul-betul keluarga yang sempurna...
Gunanti sungguh mensyukuri
semua anugerah yang diberikan Tuhan untuknya... Sampai ujian itu memorakporandakan
semua mimpi indahnya.
Semua berawal
dari selembar kertas yang terselip di kemeja
Bram. Pagi itu, entah berapa hari yang lalu.. Mak Yah, pembantu paruh
waktunya yang bertugas mencuci dan menyeterika baju keluarga, menyerahkan
kertas itu kepadanya. Sebuah kertas
carbonless, yang ternyata berisi tagihan bernilai ratusan juta rupiah. Gunanti
limbung.. pinjaman itu tak pernah memakai tanda tangannya sebagai istri...Dan
uang ratusan juta itu, uang apa, kemana, atau... untuk siapa?
“Mas, kita perlu
bicara,” kata Gunanti sesaat lelakinya pulang. Hampir tengah malam.
Dan seperti telah diduganya, lelaki itu
memilih bungkam, membiarkan Gunanti menelan semua pertanyaan dan kalimatnya
sendiri. Namun Gunanti tak menyerah...
Lalu,
permainanpun dimulai. Bak detektif partikelir yang dulu kisahnya acap dibacanya
di novel-novel Agatha Christie, Gunanti mulai melakukan penyelidikan sendiri.
Dia mempelajari semua dari youtube, tentang bagaimana cara menyadap pembicaraan
whatsapps. Dia ikuti pula seluruh aktivitas suaminya lewat media sosial.
Awalnya tak ada yang mencurigakan. Nama-nama perempuan yang berseliweran di gawai
dan media sosial Bram, tak ada sama sekali yang aneh-aneh. Pun dengan WaGs.
Semua masih aman, terkendali. Sampai akhirnya...
[Morning, beib]
[Morning, ketemu
pas lunch ya. Tempat biasa, resto Casablanca}
Lalu emoji cium
menutup pembicaraan.
Gunanti schok. Obrolan
itu... Ini di luar ekspektasinya. Gunanti sungguh tak percaya. Perempuan
pemegang gelar pendekar di sebuah perguruan wushu inipun menyusuri jejak dialog
mereka. Bramantyo dan Vincent Ardian. Ini...lelaki?! Benarkah? Atau...ini nama
perempuan yang sengaja disamarkan dengan nama laki-laki? Bram...seling..kuh?!
Rasa-rasanya ini tak bisa dipercaya..
Menguatkan hati,
mantan atlet ini terus membaca chat-chat yang terkirim intens, entah sudah
berapa lama.. Ya, Allah.. Gunanti menggigil. Marah dan jijik...lututnya lemas. Kalimat-kalimat
itu sedemikian vulgar... Untunglah dia sendirian di ruang kerja, sehingga tak
seorangpun curiga dengan ekspresinya yang mungkin sudah berubah entah. Untung
pula dia masih bisa mengontrol diri.. Ujian apa ini, Tuhan ??
Vincent Ardian,
siapa dia?
Bram
berselingkuh. Gunanti memang sempat menduganya. Tapi dengan siapa? Tak ada
jejak perempuan di telepon genggam dan semua jejal media sosialnya. Ternyata Gunanti
salah duga. Hutang yang tak sedikit jumlahnya itu memang bukan untuk seorang
perempuan, tetapi untuk seseorang yang bernama laki-laki. Apakah Bram seorang
gay? Mungkinkah Bram memang tak sedang berdusta? Dia memang tak ada affair
dengan seorangpun wanita...tetapi dengan seorang...Aaargghhh...
Menelan semua rasa sakit dan kegetiran, juga
demi sebuah bukti, Gunanti meluncur menuju restaurant Casablanca, seperti yang
tertera di chat Bram yang telah disadapnya. Dia paham betul dimana restaurant
itu berada. Informasi yang sangat jelas sudah dikantonginya. Tapi tak mungkin
dia melakukan investigasi dan pengintaian dengan busana kerja. Pelan
diluncurkannya mobil mungilnya ke arah sebuah butik busana syar’i. Tak
tanggung-tanggung, dia beli sekalian lima busana berwarna gelap, lengkap dengan
penutup wajah.
Ini sudah saatnya
lunch. Gunanti sudah menata diri. Mengganti kostum kerjanya dengan sebuah gamis
syar’i lengkap dengan niqobnya.
Meninggalkan mobilnya di sebuah salon mobil, dan memilih menggunakan aplikasi
online untuk mencarter kendaraan.
“Hotel Swadesi,
Pak,” perintahnya pada sang sopir yang mengantarnya.
Ya, restoran Casablanca
ada di hotel Swadesi, sebuah hotel bintang lima, yang sependengarannya memang
acap digunakan untuk tempat berkumpulnya komunitas pelangi. Setelah meminta
sopir untuk menunggu, Gunanti melenggang memasuki Casablanca Resto. Dipilihnya
meja yang cukup tersembunyi namun leluasa untuk mengamati semua aktifitas di
dalam restoran dengan nuansa minimalis modern ini. Table 15. Ya, dari sini,
Gunanti bisa melakukan pengintaian dengan leluasa. Dipesannya segelas juice
alpukat tanpa gula dan seporsi salad bar. Tak lupa, sebuah majalah fashion
islami dihamparkannya untuk sekedar menutup wajah yang sesunggu, hnya sudah
tersembunyi di balik niqob.
Penyamarannya
rasanya sudah cukup sempurna, saat Gunanti melihat sosok yang sangat dikenalnya
itu berjalan memasuki restoran. Jantungnya berdentam..Lelaki itu berjalan
ringan menuju meja...20. hanya lima meja di depannya...Seorang lelaki muda,
terlihat berumur sekitar 25 tahunan yang sudah duduk sedari tadi, berdiri
menyambutnya. Pemandangannya berikutnya, nyaris membuat jantung Gunanti
berhenti berdetak. Ya..ya..mereka berpelukan, dan ‘cup’ bibir dua lelaki itu
saling bersentuhan...
Allaaaah.........
Adegan itu begitu
cepat. Gunanti tak sempat merekamnya. Terpaksa, dia harus bertahan dulu...bukti
ini belum cukup kuat...
Dan dua pasang
tangan kekar itu saling bergenggaman di atas meja.. Dunia Gunanti meruntuh. Nafasnya sesak...Gunanti tak ingin
mendekat..tak ingin melabrak. Itu bukan cara-cara yang bermartabat. Dia hanya
zoom adegan itu, cekrek.....cekrek...
Wizzz.. selembar
foto terkirim ke nomor Bram. Captionnya singkat..
[Pulang..]
[Kutunggu di
rumah]
Tak ada perang
Bubat di rumah. Anak-anak jauh lebih berharga. Tak layak dua bidadari kecilnya
mendengarkan pertengkaran yang tak seharusnya. Hanya selembar kertas putih
bertuliskan seluruh kekecewaannya dihamparkan Gunanti di atas tempat tidurnya.
Di sampingnya, Gunanti duduk termangu dengan tatapan hampa.. tak dipedulikannya
lelakinya yang menghiba mengemis permohonan maafnya. Hancur sudah harga diri
Gunanti sebagai seorang wanita..lenyap menghilang, entah kemana.
Dia telah
diduakan dengan seorang laki-laki. Ah, tiba-tiba pikirannya meliar..Bagaimana
kalau suaminya terkena AIDS? Tiba-tiba ada perasaan jijik dan ketakutan yang
mendera hatinya. Semenjak itu, Gunanti lupa, bahwa dia seorang wanita. Dia lupa
rasanya bercinta. Yang dia ingat, Gunanti hanya ibu bagi dua bidadarinya..
ranjangnya mendingin, dan semakin mendingin..
Bram? Dia
terjebak pada penyesalan berkepanjangan. Ya, atas permintan Gunanti, mereka
berdua mengikuti tes ELISA (enzyme –linked immunisorbent assay), sebuah test
untuk mendeteksi HIV. Hasilnya, Bram positif HIV. Satu hal yang disyukuri
Gunanti, kondisi tubuhnya yang menolak semua alat kontrasepsi hormonal
menyelamatkannya dari penularan virus laknat yang hanya menular lewat cairan
itu. Ya, bertahun kondisi itu memaksa Bram untuk menggunakan kon*om untuk
mengatur kehamilan. Alhamdulillah, Gunanti negatif HIV.
Bram pun
berpamitan. Pada kedua putrinya dia berpesan,” Papa akan dinas keluar kota...”
Bram menghilang..
Begitulah....
Gunanti mengubur
sakitnya. Dia hanya ingin menangis dan mengadu di rumah Tuhan, beri’tikaf
setiap malam tanpa seorangpun mengenalnya. Kemudian perempuan kuat itu pulang
dengan selubung rindu di pelupuk matanya. Diciuminya dua permatanya yang suah
tertidur pulas...
***
Orang-orang, para
jamaah masjid datang lebih awal menjelang sholat Maghrib. Ah, sayang, mereka
tak sedang fokus beribadah. Ada kehendak terselubung yang mereka ungkapkan
lewat rumpian sesama teman. Persekusi.. Ya.. persekusi... tak lama lagi...
Tapi..
Kemana perempuan itu? Mengapa
sampai jelang iqomah, tak tampak pula batang hidungnya? Eh, kelebatan gamisnya,
dimana?
Rumpian itu
mendengung laksana laron...saat malam makin menjelang, dan tak ada perempuan
bercadar hitam lagi di Masjid Al Ikhlas.
Apakah teroris itu mencari lahan yang baru?
Ya, usai rapat
malam itu, aku memutuskan mengikuti perempuan misterius itu dan berhasil membuka selubung misterinya. Aku yakin perempuan itu bukan orang lain
buatku. Dan dugaanku benar, dia Gunanti.
Tanteku, Tante Gunanti. Dia telah menceritakan semua kisahnya padaku...
***
Dan hari ini, di
sebuah rumah bergerbang hijau yang latarnya dihiasi bebungaan maneka warna...
usai sholat maghrib, seorang ibu nampak asyik mendampingi dua bocah kecilnya
mengaji....Matanya benderang ... Perempuan semisterius malam itu telah
kembali...
Situs Domino QQ Online Deposit Via Pulsa
BalasHapusMinimal Deposit & Withdraw Yang Hanya Rp:20.000
Daftar Yang Mudah Dan Gratis !!
Menyediakan Semua bank Lokal Seperti:
( BCA,MANDIRI,BNI,BRI,DANAMON,CIMB) & Dapat Menggunakan Aplikasi OvO
Di Situs CasperQQ Juga Dapat Deposit Menggunakan PULSA TELKOMSEL & XL.
{ http://casperqq.xyz }
Pelayanan Customer Service Online 24/7 Nonstop Anda Bisa Chat Melalui LIVECHAT Ataupun WHATSAPP.
Silakan Hubungin Kami Melalui :
- WHATSAPP :+855-613-41-467
- LINE : Casperqq
Daftar Bandar Ceme
agen poker online
poker terpercaya
Deposit via Pulsa
ceme Online