Oleh : Umi Basiroh
"Mohon do'anya, Mbak. Istrinya Farhat sakit." Sebuah WA menghiasi gawaiku di malam itu. WA itu dari Budhe Semarang.
"Sakit apa, Budhe?" Kubalas Budhe saat itu juga. Agar teka tekiku terjawab segera.
"Di Rumah Sakit apa?" Tanyaku lagi.
"Mohon doa. Semoga lekas sembuh." Cukup itu jawabannya.
"O, nggih. Syafakillah. Semoga penyakitnya cepat diangkat. Kembali segar bugar." Doaku pada istri Farhat.
*
"Budhe, besuk sore mau bezuk istrinya Farhat di Rumah Sakit Semarang. Jam 15.00 siap." Dik Ana memberi tahu info itu melalui WA.
"Makasih infonya, saya ikut." Kujawab WA Dik Ana dengan singkat.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dik Ahmad memilih jalur toll, agar cepat tiba di alamat.
*
Tiba di lokasi, kami disambut hujan rintik-rintik. Kota Lumpia yang biasanya panas, baru saja mendapat curah hujan tinggi. Buktinya, ada air yang menggenang di beberapa lokasi.
Kami mencari ruang dimana istrinya Farhat di rawat. Untuk sampai ke ruangan. Kami harus berjalan melewati beberapa ruang yang menawan.
Namun, hati kami tidak tertawan. Ternyata, sang pasien di rawat di lantai 3.
Gedung bertingkat yang ditata rapi berdinding putih begitu gagah.
Kulihat di beberapa sudut ruang ada bunga anggrek nan menawan. Mereka bermekaran dengan warna warni yang menarik hati.
Akhirnya, tiba juga di tempat tujuan.
"Assalamualaikum." Mbah Tiyo mengucap salam.
"Ini dari Salatiga, ya?" Keluarga Farhat bertanya untuk memastikan.
*
Kami berdoa secara bergantian. Diruang perawatan nampak wanita muda yang tengah hamil tujuh bulan tidur terlentang. Dia tak berdaya. Didampingi ibundanya dengan. Setia.
Ada beberapa selang yang menempel di tubuhnya. Hatiku dibuat ngeri, tak kuat hati untuk berlama-lama.
Mbah Tiyo memimpin doa. Dan aku cukup mengamininya. Mata pasien nampak merah. Dia, menahan rasa sakit yang tak terperi.
"Memang, Mbak sakit apa?" Di ruang tunggu Mbah Tiyo bertanya pada Budhe Semarang.
"Dia diare akut. Sehari diare 16 kali." Budhe menjawab pertanyaan Mbah.
"Kok bisa separah itu?" Mbah Tiyo masih bertanya. Karena pasien yang seorang perawat, tentunya paham masalah kesehatan.
"Telat penanganan, Mbah." Kata Budhe menjelaskan.
"Untung segera tertolong. Sekarang, sudah membaik kondisinya. Dibanding kemarin. Kemarin sempat koma." Budhe bertutur halus.
"Apa pemicunya, sampai terkena diare? Matanya juga nampak memerah tadi." Mbah Tiyo bertanya lagi.
"Pemicunya, karena merasakan panas dan gerah, dia mandi sehari semalam 6 kali. Plus, kipas angin nonstop 24 jam. Akhirnya masuk angin lanjut diare. Orang hamil tua kan gerah bawaannya."
Budhe menjelaskan dengan seksama.
"Menurut diagnosa dokter, pasien dehidrasi dan virus menyebar sampai ke kepala, sehingga saraf matanya kena. Tadi merah kan?" Budhe bermonolog.
"Untuk pertolongan pertama bagi orang yang diare itu gampang. Yang terpenting jangan sampai dehidrasi. Cegah dengan minum teh pahit. Oralit juga bisa, paduan air gula garam. Saya seringnya " Medhus" Makan daun jambu muda campur garam. Manjur kahsiatnya."Mbah Tiyo menceritakan pengalaman pribadi.
"Aku ingat kisah tetangga. Penyakit diare merenggut anaknya. Di usia 6 bulan, bayi tampan yang lama ditunggu kehadirannya, meninggal.
Setelah di rawat di tiga rumah sakit, ajal tak dapat ditolak. Di iringi isak tangis, bayi mungil dibawa pulang dan dimakamkan di pekamanan umum.
Kisahnya, si kecil diare. Lalu di bawa ke orang pintar untuk dipijit. Keadaaannya bukan membaik tapi sebaliknya yaitu memburuk.
Memburuknya keadaan si jabang bayi karena, pampers yang dipakaikan kepada si jabang bayi tidak diganti dalam waktu lama.
Dampaknya, bayi mengalami dehidrasi dan virus bergerak naik ke seluruh tubuh. Virus sampai kepala. Akhirnya, menyebabkan kematian."
Alangkah tragisnya. Penyakit yang dianggap sepele, menyebabkan kematian.
Semoga kita terhindar dari hal-hal sedemikian. Diare mengintai kalau tidak cepat ditangani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar