Oleh : Widyastuti
November, 2000
Ada rasa takjub ketika aku menapak untuk pertama kalinya di rumah Dinas suami. Berbeda dengan rumah kami yang kecil, rumah dinas ini sungguh besar, dengan 3 kamar tidur berukuran besar dan 2 kamar tidur kecil. Ruang tamu, ruang keluarga , ruang makan, dapur sampai kamar mandi semua berukuran besar. Demikian pula halaman depan, kebun di samping kanan, kiri dan belakang semua luas. Ada 3 kolam ikan yang cukup besar di samping kanan dan kiri rumah serta di samping kanan dapur.
Pohon kantil yang sudah tua dan menjulang tinggi terletak diantara rumah dan kolam, di depan garasi. Kolam samping dikelilingi tanaman yang subur dan hijau. Sementara taman di depan rumah ditumbuhi banyak bunga-bunga yang indah. Bunga dahlia, panca warna, allamanda dan bunga tembelekan yang berwarna warni bermekaran dengan cantiknya. Demikian pula di taman samping dan belakang, semua ditumbuhi pohon-pohon yang rimbun dan bunga-bunga yang memesona. Aku sangat bahagia, karena aku menyukai suasana seperti ini.
Kata orang-orang tua tokoh masyarakat, rumah dinas ini diapit oleh gunung merbabu dan telomoyo yang titik pusatnya tepat di rumah dinas ini. Dipercaya bahwa kalau penghuninya kuat maka akan sukses dan dijauhkan dari mara bahaya.
Kami menjumpai beberapa lantai tegel bekas galian yang dipasang kembali di ruang makan dan kamar kamar. Ketika aku bertanya kepada bapak penjaga yang sudah tua, pak Bejo, dia bercerita bahwa beberapa penghuni sebelumnya selalu memendam “rajah” di bawah lantai untuk keselamatan mereka. Ketika dia menawarkan kami untuk mengantarkan di rumah seorang kiai yang bisa membuat “rajah” kami menolak dengan halus karena kami belum terbiasa dengan hal-hal seperti itu.
Seusai acara selamatan dan saudara-saudara yang mengantar kami pulang, suasana terasa lengang. Tinggal kami berdua, ada bapak penjaga namun di kantor yang jaraknya kira-kira 100 meter dari rumah dinas. TV berukuran 14 inci kami letakkankan di kamar utama yang berukuran 4x5. Sementara di ruang makan dan keluarga yang cukup besar terlihat sangat longgar karena hanya ada meja dan kursi makan berukuran kecil. Jendela kaca yang cukup besar dan panjang belum diberi gorden, karena kami baru mengangarkan bulan depan. Aku sempat bergidik ketika ada ‘makhluk’ hitam di luar jendela yang bergerak-gerak, sehingga kudekap suamiku.
“Ada apa?”tanyanya. Aku menunjuk ke arah jendela yang hanya diterangi lampu dapur yang redup.
“Itu daun-daun “ katanya. Ketika aku melihat ke arah jendela, aku membenarkan kata suamiku,hanya daun daun berukuran besar yang bergerak gerak terkena angin . Namun tetap saja aku merasa takut bila menuju ke kamar mandi atau dapur dimalam hari. Rasanya sepi , hawanya dingin sekali dan kesannya gelap meskipun suami sudah memasang lampu neon,hal ini dikarenakan banyaknya pohon-pohon besar di sekitar rumah. Apalagi tidak ada canda dan tawa anak-anak kami yang belum ikut tinggal di rumah ini.
Ada satu kamar berukuran kecil yang “aneh”. Pertama ,ketika teman-teman SMP anak sulungku bermain dan bermalam di kamar itu, tiba-tiba pintu terkunci, salah satu anak tidak bisa keluar. Setelah pintu digedor-gedor cukup lama tiba-tiba pintu yang terkunci bisa membuka. Salah satu teman anakku yang terkunci terlihat pucat pasi karena ketakutan. Kejadian kedua, ketika aku dan suami sedang bersantai tiduran di kamar itu sambil bercengkerama, tiba-tiba aku merasakan tempat tidur bergoyang namun lembut seperti berada di atas ombak kecil. Semula aku berpikiran, mungkin aku yang tiba-tiba vertigo sehingga rasanya seolah-olah aku dan sekelilingku bergerak. Ternyata suami merasakan hal yang sama. Kamipun beristighfar bersama, dan memutuskan kamar itu kami jadikan tempat salat berjamaah, dan bakda maghrib aku selalu membaca Alquran di kamar ini.
Suatu malam, aku bersama suami ke kantor untuk menyambangi Pak Bejo yang kebetulan jaga, ditemani cucunya yang asyik melihat TV. Pak Bejo bercerita tentang pohon kanthil yang ada di samping rumah. Usia pohon itu lebih dari 50 tahun, ada sebelum rumah dinas dibangun. Pohon besar yang tingginya lebih dari 15 meter itu daun dan bunganya lebat dan selalu menebarkan aroma wangi, dipercaya sangat disukai kuntilanak. Jika tengah malam beberapa orang bisa melihat kuntilanak berada di sekitar pohon itu termasuk pak Bejo. Bulu kudukku bergidik, padahal pohon itu berada di samping kamar tidur utama, kamar yang kami tempati.
Ketika putriku yang kedua liburan, dia tidur dikamar sebelah. Paginya dia bercerita kalau ada perempuan berambut panjang, yang wajahnya tidak jelas memasuki kamarnya. Putriku bercerita dengan santainya tanpa rasa takut. Meskipun masih kecil dia termasuk pemberani, dia berani tidur sendirian di kamar yang besar. Kesukaannya melihat film horror, berbeda dengan aku yang penakut.
Malam ini suami berpamitan mau mendatangi pagelaran wayang kulit di desa pada acara “merti deso”. Aku tidak ikut karena selain udara dingin, anginnya juga besar dan pagelaran pasti selesainya larut malam padahal besok aku harus mengajar pagi. Jam 9 suami meninggalkan rumah, aku sendirian di kamar utama sambil melihat telivisi. Semula aku merasa baik-baik saja, sambil tiduran melihat TV berharap langsung bisa terbuai dalam mimpi. Namun prediksiku salah, ternyata kali ini aku sulit memicingkan mata. Kurasakan malam begitu panjang. Semakin larut, suasana semakin sepi, udara semakin dingin dan deru angin semakin besar. Ketika lonceng jam dinding berdentang duabelas kali, tiba-tiba bulu kudukku berdiri teringat pohon kantil yang persis ada di samping kamar yang aku tempati. Hatiku berdegub hebat ketika mencium bau wangi menebar di kamarku, aku segera menelungkupkan badanku, dan guling aku letakkan di atas kepalaku, beristighfar dan berdzikir sebisaku.
Ketika aku mendengar derit pintu terbuka jantungku hampir copot, apalagi ada benda dingin yang menyentuh lenganku, aku tak bisa menahan takutku sehingga aku menjerit….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar