oleh : Tirta NS
Dia
memperkenalkan dirinya sebagai Vony. Siapa nama aslinya? Entahlah, tak penting
itu. Hanya saja, di siang yang lumayan terik itu, perempuan yang mengaku
berasal dari sebuah desa yang cukup terpencil di Kabupaten Semarang itu sengaja
datang menemui Bu Sinta, seorang aktivis yang dikenal sebagai tempat curhat
bagi para perempuan bermasalah di daerahnya. Vony tidak sendiri. Dia ditemani
dua saudaranya, juga seorang wartawan koran harian.
“Saya
ditelantarkan suami saya, Bu. Dia tidak mengakui anaknya. Dia juga menghina
saya, dengan mengatakan hanya menemukan saya di jalanan,” ujar Vonny sambil
tertunduk.
Bu Sinta
menatap Vonny, menyelidik.
“Menikah?
Sah?” tanya Bu Sinta.
“Siri...”
“Dimana
kalian menikah?” tanya Bu Sinta lagi.
“Bandungan..”
Dari sini
cerita itu dimulai.
Ya, Vonny.
Gadis muda itu datang ke rumah Bu Sinta dengan perut gendutnya. Usianya
pastilah masih belasan tahun. Wajah mudanya tak mampu menyembunyikan itu.
Apalagi dengan gaya berpakaiannya yang masih terlihat ABG. Jumpsuit polkadot
dipadu kaos polos, membalut perutnya yang mungkin sudah masuk hitungan bulan ke
sembilan. Sudah lancip, kalau orang Jawa bilang. Melihat jumpsuit yang
dipakainya, yang terbayang di benak ini, pastilah ribet saat hasrat sewajarnya
ibu hamil terasa; pipis, alias buang air
kecil..
Dan
benarlah..
“Saya masih
sembilan belas. Kemarin waktu masuk pabrik, usia saya tepat delapan belas,”
ujarnya.
Lalu?
Berceritalah
Vonny tentang perjalanan hidupnya. Dari mulai lepas sekolah, memasuki dunia
kerja, hingga akhirnya terjebak dalam pernikahan siri, hamil, dan sekarang ini,
dia sedikit bingung dengan pandangan masyarakat yang memasang stigma di
jidatnya, sebagai perempuan ‘tidak baik-baik’, hamil tanpa suami.
Bu Sinta
mendengarkan penuturan Vonny dengan seksama.
Vonny
hanyalah gadis biasa. Sama saja seperti gadis-gadis remaja seusianya, diapun
bermimpi segera lulus SMA, dan melamar kerja. Tak muluk bukan? Ibunya yang
hanya tukang momong karyawan pabrikan, dan bapaknya yang hanya buruh serabutan,
memang tak bisa membuatnya berfikir leluasa, kemana dia akan kuliah selepas SMA.
Begitulah. Maka tak perlu berfikir dua kali, saat mendapatkan penawaran untuk
kursus garmen gratis di sebuah LKP yang tak jauh dari rumahnya, perempuan
berkulit bersih inipun langsung mengambilnya. Apalagi ada iming-imingnya,
begitu lulus dan dapat sertifikat, maka
dia sudah tinggal mengetuk pintu pabrik mana yang dia kehendaki. Semudah dan
sesederhana itu.
Daerah
Vonny memang daerah pabrikan. Lingkungan tempat tinggalnya juga penuh dengan
deret kost-kostan. Dari kost yang paling sederhana, hingga kost yang lumayan
mewah; meski kamar sederhana namun ada kamar mandi di dalam, dan penghuninya
biasanya, meskipun sama juga buruh pabrik, namun ini buruh pabrik yang tak
biasa. Buruh pabrik yang stylish dan wangi. Dan disini Vonny suka berlama-lama
bercerita, saat ada waktu senggangnya, di hari Minggu atau hari libur lainnya.
Dan ya, Vonny
muda lulus SMA. Lulus LKP setelah mahir menjahit lingkaran-lingkaran untuk
membuat cup BH. Tak lama, gadis muda berambut Dora inipun diterima kerja.
Statusnyapun berubah. Bukan lagi pelajar, tapi buruh, eh, karyawan pabrik.
Tentu saja, Vonny bahagia bukan kepalang. Ah, sejujurnya, Vonny belum berfikir
bagaimana bisa meringankan beban hidup orangtuanya. Tetapi bagaimana lembaran
rupiah yang diterimanya akan bisa mewujudkan impiannya membeli motor, membeli
baju, tas, sepatu, dan berdandan cantik, seperti karyawati pabrik yang dikenalnya
itu, jauh sebelum diapun berstatus karyawan.
Yah,
sebulan, dua bulan, dia masih menikmati lembar rupiah yang didapatkannya. Tapi
bagaimana dengan bulan-bulan berikutnya? Ternyata upah minimal kabupaten yang
diterimanya setiap bulan, hanya lewat saja dan jauh dari ekspektasinya. Apalagi
di bulan kedua dia bekerja, sebuah sepeda motor sudah menghiasi ruang tamu
rumahnya. Yap, terasa sudah, ternyata gaji karyawan pabrik tak cukup untuk
memenuhi kebutuhannya. Lalu, apa yang harus dia lakukan untuk mencari tambahan
penghasilan?
Lalu, satu
dua godaan mulai datang. Termasuk dari kawan-kawan sesama karyawan pabrik yang
ternyata sudah lebih dulu mencari tambahan penghasilan. Sebagai karyawan plus-plus tentu saja. Ya,
pada akhirnya Vonny memang tahu, ada banyak kawannya yang berprofesi ganda,
baik freelance maupun yang dikelola sesama kawan. Tetapi Vonny masih bertahan.
Imannya
mulai goyah, saat Pak Prast, sebut saja begitu, salah satu manajer di
perusahaannya mulai menggoda. Dari saling pandang, berlanjut chat mesra, hingga
akhirnya berpacaran dan berlanjut pada ajakan menikah siri. Mengapa tidak
menikah resmi? Rupanya Pak Prast sudah beristri, dan Vonny tak peduli.
Pun saat
pernikahan siri terjadi.
‘Saya hanya
diajak Pak Prast ke hotel. Dipakaikan kerudung, terus kami menikah. Saya tidak
mengenal penghulunya, maupun saksinya. Pokoknya nikah saja..,” cerita Vonny
ringan. Ya, semua berlangsung begitu saja, Vonny bahkan tidak tahu pasti,
apakah penghulu dan saksi-saksi itu sudah disediakan oleh pihak hotel, atau Pak
Prast yang membawanya. Yang pasti pernikahan itu hanya berlangsung di dalam
kamar. Vonny sendiri hanya didampingi bapaknya. Tak lebih. Tak ada sanak
saudara lainnya. Apalagi tetangga atau kawan-kawan rekan kerjanya...
Apakah
Vonny dan keluarganya tidak merasakan keganjilan dalam pernikahan tersebut?
“Saya tidak
tahu bagaimana nikah siri yang sebenarnya. Tetapi karena ada beberapa kawan
saya yang juga melakukan hal yang sama, ya sudah, saya ikutin saja. Nikah
siri.. apalagi bapak dan ibu juga mengijinkan, merestui..”
Vonny
sendiri mengakui, motivasinya menikah siri tak lebih dari faktor ekonomi.
“Setiap bulan saya dapat jatah bulanan. Saya juga bisa bela beli baju, make up..dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya.”
Meskipun
demikian, ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar oleh Vonny, dan juga
beberapa kawannya yang menjalankan nikah siri itu. Tetap tidak boleh tampil
berduaan di tempat umum, dan tidak boleh hamil!
Perjanjian
itu memang tak tertulis. Tetapi sudah disepakati dimuka. Sayangnya, Vonny
kebobolan. Meskipun sudah menggunakan
pengaman, gadis bertubuh montok ini tetap saja telat bulanan. Dan Pak Prast,
sebagaimana sudah disepakati di muka, langsung berbalik badan. Itu sebabnya saat
negoisasi di kantor polisi, yang disebutkan sebagai pertemuan kekeluargaan,
Prast dengan entengnya bilang, menemukan gadis itu di jalanan.
“Saya
sudah membayarnya,” dalih Prast,
sebagaimana disampaikan Vonny.
Beruntung
saja ada wartawan dan fasilitator, sehingga Vonny masih bisa bernafas lega.
Setidaknya Prast masih mau membantu biaya persalinan dan memberikan nafkah pada
bayi yang dikandung Vonny sebesar Rp. 800.000,- per bulan, hingga si anak
berusia 18 tahun. Pertanyaannya, mungkinkah janji itu akan terpenuhi, Entahlah,
waktu yang akan membuktikan.
Praktek
prostitusi terselubung melalui jasa mafia nikah siri di hotel, meski jejaknya
masih abu-abu, namun indikasi tersebut sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa kasus di lapangan yang memiliki modus serupa. Dipacari, dinikahi
di hotel, dan begitu hamil, si perempuan ditinggalkan begitu saja. Atau,
mungkinlah tak sampai hamil, si pria akan dengan mudah berbalik badan dan
meninggalkannya bila sudah bosan. Si perempuan, siaplah menjadi korban.
Ya,
setidaknya itu pula yang terjadi pada Ayu, perempuan muda yang memang berwajah
ayu. Mengenal kehidupan seksual bebas saat usianya baru menginjak 13 tahunan, perempuan jebolan kelas 8 MTs ini dinikah siri
oleh seorang lelaki saat dirinya berusia 20-an tahun. Modusnya sama, dinikahi
di sebuah hotel, dengan mendatangkan penghulu dan saksi dari antah berantah.
Mungkin bayaran? Entahlah. Belum ada sumber yang bersedia bicara tentang hal
ini.
Dan
bagaimana dengan rumah tangga Ayu?
Tak beda
jauh dari Vonny. Begitu kebobolan, Ayu pun dibuang. Kembali menjadi pemandu
karaoke dengan job plus plus. Sayang, kehidupan seksualnya yang liar membuatnya
menderita PMS sejak usianya baru menginjak 25 tahunan.
Lalu, mengapa,
para perempuan muda ini rela digundik oleh para laki-laki dengan dalih dinikah
siri?
“Lebih
nyaman saja, sih, Bu. Saya tidak perlu bayar kontrakan, karena rumah sudah
dikontrakkan. Kebutuhan bulanan juga sudah tidak perlu nyari-nyari lagi,” ujar
Vonny.
Sementara
bagi Ayu, menjadi ‘wanita simpanan’ lebih ‘terhormat’ daripada menjadi
freelance atau dibawah kekuasaan mami. Meskipun, isi dompet tak setebal saat
menjadi pemandu karaoke plus-plus.
Lalu,
bagaimana dengan sudut pandang laki-laki?
Konon, “menyimpan’
jauh lebih hemat daripada bertransaksi lepas. Selain itu dari sisi kesehatan,
mereka juga lebih terjamin karena tidak berjualan seharian.
Berlindung
di balik pernikahan siri, sebenarnya praktek ini tak lebih dari hubungan
transaksional yang melibatkan banyak pihak. Ada anak yang pengen tampil keren
dan kekinian, sehingga mau saja digoda om-om dan bahkan menikmati permainan
lendir. Orangtua yang merasakan kemudahan mendapatkan gelontoran uang, hingga
permisif saja menyerahkan anak gadisnya, meski tahu pernikahan itu tak
sewajarnya. Pihak hotel, penghulu, saksi abal-abal alias saksi gadungan.
Pernikahan
siri dengan segala macam modus operandinya, tak hanya sebatas di
kasus Vony dan Ayu. Perempuan-perempuan
pabrikan lain, tak sedikit yang menjalaninya. Dari yang sekelas dibayar dengan
pulsa (sekarang sudah berganti ke quota), hingga yang lebih ‘berkelas’ dengan
tarip ratusan ribu rupiah.Tak terlalu mudah memang untuk mengendus adanya
lingkaran prostitusi terselubung yang dijalani para perempuan pabrikan. Namun
dengan usaha sedikit saja, mengorek perilaku mereka, akan segera terbuka dengan
kasat mata.
Untuk kelas
menengah, indikasi adanya praktek plus-plus dari karyawan pabrikan ini sudah
terlihat dari cara mereka mencari kost-kostan.
Dari pengamatan penulis, umumnya mereka mengontrak di rumah kost dengan
standarisasi sendiri; kamar mandi dalam, dan tidak berpintu gerbang. Kriteria
rumah kost yang demikian tentunya mendukung mobilitas mereka yang bisa datang
dan pergi kapan saja. Kecenderungan lain, mereka juga mencari kost-kostan yang
longgar, tidak serumah dengan ibu kost.
Indikasi
kedua, tentu bisa dilihat dari cara berdandan dan penampilan mereka yang
berbeda. Karyawan pabrik, terutama pabrik garmen umumnya menggunakan sepatu
teplek, karena begitu masuk pabrik sudah harus berganti sandal jepit karet.
Tapi bagaimana dengan karyawati kategori terakhir? Hemmm...sepatu berhak
tinggi, kadang bahkan hingga 10 sampai 12 cm menjadi koleksi sehari-hari.
Wahay...
Jangan
salah, meskpun mereka hanya karyawan biasa dengan gaji standar UMR, tapi mereka
juga bisa melakukan perawatan kecantikan rutin, memakai skin care mahal, hingga
pasang behel dan perawatan gigi rutin.
Sherly, sebut saja demikian, bahkan menggundang seorang dentist khusus untuk
perawatan gigi di kost-kostan. Berapa rupiah dihabiskannya untuk sekali datang?
Sherly hanya tersenyum samar.
Yeah, itu
baru masalah lifestyle. Urusan tongkrongan dan tempat nongkrong? Kafe dan mobil
antar jemput yang selalu berganti setiap waktu, adalah suatu hal yang sangat
biasa bagi mereka. Karyawan pabrik dengan gaji standart normal, mana mampu???
Lalu, berapa sih tarip yang dipatok untuk para
karyawan pabrik plus plus ini?
“Tidak ada
tarip resminya sih, sesaui kesepakatan saja, Tapi ya diatas 200-an hingga
jutaan rupiah...” ujar sebuah sumber.
Lalu,
bagaimana dengan gadis-gadis berkelas pulsa dan quota?
Bertanyalah
pada sopir-sopir angkutan kuning yang melintas Ungaran-Samban, dan sesekali
melintasi Gembol. Mereka akan dengan fasih menyebutkan, siapa-siapa saja
gadis-gadis pabrikan yang memiliki profesi sampingan sebagai penjual daging
obralan.
“Wah, Mbak,
kalau dulu mereka itu cukup dibelikan pulsa. Kalau sekarang, ya kasih aja
quota. Banyak yang mau...” ujar sopir mikrolet, sebut saja Pardi, yang saat itu
memang sengaja saya carter untuk melewati jalur Gembol, salah satu lokalisasi
yang ada tak jauh dari lokalisasi Tegal Panas.
Oh..
Begitulah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar