Sabtu, 18 Januari 2020

Perempuan Pabrikan dalam Lingkaran Prostitusi


oleh : Tirta NS

Dia memperkenalkan dirinya sebagai Vony. Siapa nama aslinya? Entahlah, tak penting itu. Hanya saja, di siang yang lumayan terik itu, perempuan yang mengaku berasal dari sebuah desa yang cukup terpencil di Kabupaten Semarang itu sengaja datang menemui Bu Sinta, seorang aktivis yang dikenal sebagai tempat curhat bagi para perempuan bermasalah di daerahnya. Vony tidak sendiri. Dia ditemani dua saudaranya, juga seorang wartawan koran harian.
“Saya ditelantarkan suami saya, Bu. Dia tidak mengakui anaknya. Dia juga menghina saya, dengan mengatakan hanya menemukan saya di jalanan,” ujar Vonny sambil tertunduk.
Bu Sinta menatap Vonny, menyelidik.
“Menikah? Sah?” tanya Bu Sinta.
“Siri...”
“Dimana kalian menikah?” tanya  Bu Sinta lagi.
“Bandungan..”
Dari sini cerita itu dimulai.

Ya, Vonny. Gadis muda itu datang ke rumah Bu Sinta dengan perut gendutnya. Usianya pastilah masih belasan tahun. Wajah mudanya tak mampu menyembunyikan itu. Apalagi dengan gaya berpakaiannya yang masih terlihat ABG. Jumpsuit polkadot dipadu kaos polos, membalut perutnya yang mungkin sudah masuk hitungan bulan ke sembilan. Sudah lancip, kalau orang Jawa bilang. Melihat jumpsuit yang dipakainya, yang terbayang di benak ini, pastilah ribet saat hasrat sewajarnya ibu hamil terasa;  pipis, alias buang air kecil..
Dan benarlah..
“Saya masih sembilan belas. Kemarin waktu masuk pabrik, usia saya tepat delapan belas,” ujarnya.
Lalu?
Berceritalah Vonny tentang perjalanan hidupnya. Dari mulai lepas sekolah, memasuki dunia kerja, hingga akhirnya terjebak dalam pernikahan siri, hamil, dan sekarang ini, dia sedikit bingung dengan pandangan masyarakat yang memasang stigma di jidatnya, sebagai perempuan ‘tidak baik-baik’, hamil tanpa suami.
Bu Sinta mendengarkan penuturan Vonny dengan seksama.
Vonny hanyalah gadis biasa. Sama saja seperti gadis-gadis remaja seusianya, diapun bermimpi segera lulus SMA, dan melamar kerja. Tak muluk bukan? Ibunya yang hanya tukang momong karyawan pabrikan, dan bapaknya yang hanya buruh serabutan, memang tak bisa membuatnya berfikir leluasa, kemana dia akan kuliah selepas SMA. Begitulah. Maka tak perlu berfikir dua kali, saat mendapatkan penawaran untuk kursus garmen gratis di sebuah LKP yang tak jauh dari rumahnya, perempuan berkulit bersih inipun langsung mengambilnya. Apalagi ada iming-imingnya, begitu  lulus dan dapat sertifikat, maka dia sudah tinggal mengetuk pintu pabrik mana yang dia kehendaki. Semudah dan sesederhana itu.
Daerah Vonny memang daerah pabrikan. Lingkungan tempat tinggalnya juga penuh dengan deret kost-kostan. Dari kost yang paling sederhana, hingga kost yang lumayan mewah; meski kamar sederhana namun ada kamar mandi di dalam, dan penghuninya biasanya, meskipun sama juga buruh pabrik, namun ini buruh pabrik yang tak biasa. Buruh pabrik yang stylish dan wangi. Dan disini Vonny suka berlama-lama bercerita, saat ada waktu senggangnya, di hari Minggu atau hari libur lainnya.
Dan ya, Vonny muda lulus SMA. Lulus LKP setelah mahir menjahit lingkaran-lingkaran untuk membuat cup BH. Tak lama, gadis muda berambut Dora inipun diterima kerja. Statusnyapun berubah. Bukan lagi pelajar, tapi buruh, eh, karyawan pabrik. Tentu saja, Vonny bahagia bukan kepalang. Ah, sejujurnya, Vonny belum berfikir bagaimana bisa meringankan beban hidup orangtuanya. Tetapi bagaimana lembaran rupiah yang diterimanya akan bisa mewujudkan impiannya membeli motor, membeli baju, tas, sepatu, dan berdandan cantik, seperti karyawati pabrik yang dikenalnya itu, jauh sebelum diapun berstatus karyawan.
Yah, sebulan, dua bulan, dia masih menikmati lembar rupiah yang didapatkannya. Tapi bagaimana dengan bulan-bulan berikutnya? Ternyata upah minimal kabupaten yang diterimanya setiap bulan, hanya lewat saja dan jauh dari ekspektasinya. Apalagi di bulan kedua dia bekerja, sebuah sepeda motor sudah menghiasi ruang tamu rumahnya. Yap, terasa sudah, ternyata gaji karyawan pabrik tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Lalu, apa yang harus dia lakukan untuk mencari tambahan penghasilan?
Lalu, satu dua godaan mulai datang. Termasuk dari kawan-kawan sesama karyawan pabrik yang ternyata sudah lebih dulu mencari tambahan penghasilan.  Sebagai karyawan plus-plus tentu saja. Ya, pada akhirnya Vonny memang tahu, ada banyak kawannya yang berprofesi ganda, baik freelance maupun yang dikelola sesama kawan. Tetapi Vonny masih bertahan.
Imannya mulai goyah, saat Pak Prast, sebut saja begitu, salah satu manajer di perusahaannya mulai menggoda. Dari saling pandang, berlanjut chat mesra, hingga akhirnya berpacaran dan berlanjut pada ajakan menikah siri. Mengapa tidak menikah resmi? Rupanya Pak Prast sudah beristri, dan Vonny tak peduli.
Pun saat pernikahan siri terjadi.
‘Saya hanya diajak Pak Prast ke hotel. Dipakaikan kerudung, terus kami menikah. Saya tidak mengenal penghulunya, maupun saksinya. Pokoknya nikah saja..,” cerita Vonny ringan. Ya, semua berlangsung begitu saja, Vonny bahkan tidak tahu pasti, apakah penghulu dan saksi-saksi itu sudah disediakan oleh pihak hotel, atau Pak Prast yang membawanya. Yang pasti pernikahan itu hanya berlangsung di dalam kamar. Vonny sendiri hanya didampingi bapaknya. Tak lebih. Tak ada sanak saudara lainnya. Apalagi tetangga atau kawan-kawan rekan kerjanya...
Apakah Vonny dan keluarganya tidak merasakan keganjilan dalam pernikahan tersebut?
“Saya tidak tahu bagaimana nikah siri yang sebenarnya. Tetapi karena ada beberapa kawan saya yang juga melakukan hal yang sama, ya sudah, saya ikutin saja. Nikah siri.. apalagi bapak dan ibu juga mengijinkan, merestui..”
Vonny sendiri mengakui, motivasinya menikah siri tak lebih dari faktor ekonomi. “Setiap bulan saya dapat jatah bulanan. Saya juga bisa bela beli baju, make up..dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.”
Meskipun demikian, ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar oleh Vonny, dan juga beberapa kawannya yang menjalankan nikah siri itu. Tetap tidak boleh tampil berduaan di tempat umum, dan tidak boleh hamil!
Perjanjian itu memang tak tertulis. Tetapi sudah disepakati dimuka. Sayangnya, Vonny kebobolan. Meskipun  sudah menggunakan pengaman, gadis bertubuh montok ini tetap saja telat bulanan. Dan Pak Prast, sebagaimana sudah disepakati di muka, langsung berbalik badan. Itu sebabnya saat negoisasi di kantor polisi, yang disebutkan sebagai pertemuan kekeluargaan, Prast dengan entengnya bilang, menemukan gadis itu di jalanan.
“Saya sudah  membayarnya,” dalih Prast, sebagaimana disampaikan Vonny.
Beruntung saja ada wartawan dan fasilitator, sehingga Vonny masih bisa bernafas lega. Setidaknya Prast masih mau membantu biaya persalinan dan memberikan nafkah pada bayi yang dikandung Vonny sebesar Rp. 800.000,- per bulan, hingga si anak berusia 18 tahun. Pertanyaannya, mungkinkah janji itu akan terpenuhi, Entahlah, waktu yang akan membuktikan.
Praktek prostitusi terselubung melalui jasa mafia nikah siri di hotel, meski jejaknya masih abu-abu, namun indikasi tersebut sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kasus di lapangan yang memiliki modus serupa. Dipacari, dinikahi di hotel, dan begitu hamil, si perempuan ditinggalkan begitu saja. Atau, mungkinlah tak sampai hamil, si pria akan dengan mudah berbalik badan dan meninggalkannya bila sudah bosan. Si perempuan, siaplah menjadi korban.
Ya, setidaknya itu pula yang terjadi pada Ayu, perempuan muda yang memang berwajah ayu. Mengenal kehidupan seksual bebas saat usianya baru menginjak 13 tahunan,  perempuan jebolan kelas 8 MTs ini dinikah siri oleh seorang lelaki saat dirinya berusia 20-an tahun. Modusnya sama, dinikahi di sebuah hotel, dengan mendatangkan penghulu dan saksi dari antah berantah. Mungkin bayaran? Entahlah. Belum ada sumber yang bersedia bicara tentang hal ini.
Dan bagaimana dengan rumah tangga Ayu?
Tak beda jauh dari Vonny. Begitu kebobolan, Ayu pun dibuang. Kembali menjadi pemandu karaoke dengan job plus plus. Sayang, kehidupan seksualnya yang liar membuatnya menderita PMS sejak usianya baru menginjak 25 tahunan.
Lalu, mengapa, para perempuan muda ini rela digundik oleh para laki-laki dengan dalih dinikah siri?
“Lebih nyaman saja, sih, Bu. Saya tidak perlu bayar kontrakan, karena rumah sudah dikontrakkan. Kebutuhan bulanan juga sudah tidak perlu nyari-nyari lagi,” ujar Vonny.
Sementara bagi Ayu, menjadi ‘wanita simpanan’ lebih ‘terhormat’ daripada menjadi freelance atau dibawah kekuasaan mami. Meskipun, isi dompet tak setebal saat menjadi pemandu karaoke plus-plus.
Lalu, bagaimana dengan sudut pandang laki-laki?
Konon, “menyimpan’ jauh lebih hemat daripada bertransaksi lepas. Selain itu dari sisi kesehatan, mereka juga lebih terjamin karena tidak berjualan seharian.  
Berlindung di balik pernikahan siri, sebenarnya praktek ini tak lebih dari hubungan transaksional yang melibatkan banyak pihak. Ada anak yang pengen tampil keren dan kekinian, sehingga mau saja digoda om-om dan bahkan menikmati permainan lendir. Orangtua yang merasakan kemudahan mendapatkan gelontoran uang, hingga permisif saja menyerahkan anak gadisnya, meski tahu pernikahan itu tak sewajarnya. Pihak hotel, penghulu, saksi abal-abal alias saksi gadungan.
Pernikahan siri  dengan segala  macam modus operandinya, tak hanya sebatas di kasus Vony dan Ayu.  Perempuan-perempuan pabrikan lain, tak sedikit yang menjalaninya. Dari yang sekelas dibayar dengan pulsa (sekarang sudah berganti ke quota), hingga yang lebih ‘berkelas’ dengan tarip ratusan ribu rupiah.Tak terlalu mudah memang untuk mengendus adanya lingkaran prostitusi terselubung yang dijalani para perempuan pabrikan. Namun dengan usaha sedikit saja, mengorek perilaku mereka, akan segera terbuka dengan kasat mata.
Untuk kelas menengah, indikasi adanya praktek plus-plus dari karyawan pabrikan ini sudah terlihat dari cara mereka mencari kost-kostan.   Dari pengamatan penulis, umumnya mereka mengontrak di rumah kost dengan standarisasi sendiri; kamar mandi dalam, dan tidak berpintu gerbang. Kriteria rumah kost yang demikian tentunya mendukung mobilitas mereka yang bisa datang dan pergi kapan saja. Kecenderungan lain, mereka juga mencari kost-kostan yang longgar, tidak serumah dengan ibu kost.
Indikasi kedua, tentu bisa dilihat dari cara berdandan dan penampilan mereka yang berbeda. Karyawan pabrik, terutama pabrik garmen umumnya menggunakan sepatu teplek, karena begitu masuk pabrik sudah harus berganti sandal jepit karet. Tapi bagaimana dengan karyawati kategori terakhir? Hemmm...sepatu berhak tinggi, kadang bahkan hingga 10 sampai 12 cm menjadi koleksi sehari-hari. Wahay...
Jangan salah, meskpun mereka hanya karyawan biasa dengan gaji standar UMR, tapi mereka juga bisa melakukan perawatan kecantikan rutin, memakai skin care mahal, hingga pasang behel dan  perawatan gigi rutin. Sherly, sebut saja demikian, bahkan menggundang seorang dentist khusus untuk perawatan gigi di kost-kostan. Berapa rupiah dihabiskannya untuk sekali datang? Sherly hanya tersenyum samar.
Yeah, itu baru masalah lifestyle. Urusan tongkrongan dan tempat nongkrong? Kafe dan mobil antar jemput yang selalu berganti setiap waktu, adalah suatu hal yang sangat biasa bagi mereka. Karyawan pabrik dengan gaji standart normal, mana mampu???
 Lalu, berapa sih tarip yang dipatok untuk para karyawan pabrik plus plus ini?
“Tidak ada tarip resminya sih, sesaui kesepakatan saja, Tapi ya diatas 200-an hingga jutaan rupiah...” ujar sebuah sumber.
            Lalu, bagaimana dengan gadis-gadis berkelas pulsa dan quota?
Bertanyalah pada sopir-sopir angkutan kuning yang melintas Ungaran-Samban, dan sesekali melintasi Gembol. Mereka akan dengan fasih menyebutkan, siapa-siapa saja gadis-gadis pabrikan yang memiliki profesi sampingan sebagai penjual daging obralan.
“Wah, Mbak, kalau dulu mereka itu cukup dibelikan pulsa. Kalau sekarang, ya kasih aja quota. Banyak yang mau...” ujar sopir mikrolet, sebut saja Pardi, yang saat itu memang sengaja saya carter untuk melewati jalur Gembol, salah satu lokalisasi yang ada tak jauh dari lokalisasi Tegal Panas.
Oh..
Begitulah...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar