Oleh : Adjie P. Atmoko
*
Percayakah kau pada anggapan jika kematian dapat menghilangkan penderitaan? Jangan. Ingin tau kenapa? Mari aku ceritakan kisahku. Kisah dari ruang pekat nan lembab. Namun sebelumnya, ada satu hal yang perlu kau tahu.
Seseorang telah menguburku hidup-hidup.
*
Duduk di rumput basah, Trimo menyapa kedatanganku tanpa menoleh. Dia asyik memperbaiki mata cangkul yang lepas dari gagangnya. Bukan masalah buatku. Kami sudah berteman sejak lama, basa-basi seperti itu hanya membuang waktu. Pula, dia juga sudah tahu maksudku menemuinya. Itu pasti.
Sisa embun dari rerumputan merembes menembus celana jeans bututku. Trimo terkekeh melihatku tak nyaman duduk di rumput.
“Kau seharusnya sudah mulai memanjakan bokongmu itu dengan properti yang lebih berkelas, bukannya rumput.” Trimo tertawa. Dia benar.
“Maksudmu mobil? Kau bahkan tidak lebih baik dariku. Tanganmu tak pernah bisa jauh dari cangkul,” sindirku, yang anehnya malah membuatnya tertawa. Trimo selalu tertawa. Entah apa resepnya.
Trimo meludahi rumput di sampingnya kemudian menatapku. Ini yang aku nanti. “Kau sudah siap untuk malam nanti?”
Bukan itu yang kuharapkan.
“Aku sudah menyiapkan semuanya, Ed. Kapan kita—”
Itu dia! Aku menunggu kalimat itu. Kesempurnaan misi.
“Malam ini. Jangan lupa bawa kemenyan dan rokok. Udara di pemakaman bisa membekukan darahmu,” sahutku cepat lalu meninggalkannya termangu bersama paculnya. “Tengah malam, Mo. Aku tak mau demit-demit kuburan menjahiliku sendirian.”
Kugenjot CB tuaku dan menghadiahinya raungan memekakkan telinga plus asap gosong dari knalpot yang karatan. Kau kejam, Ed, kataku, pada diriku sendiri.
Aku percaya pada Trimo melebihi siapapun di dunia ini. Dialah mitra sejatiku. Sahabat sekaligus guru. Dialah yang mengajariku merampok dan menghabiskan hari demi hari untuk mencari target baru. Target yang lebih kaya. Calon mangsa yang lebih berkelas. Korban-korban yang lebih … ‘mudah’.
Tapi, selalu saja ada tupai yang terjatuh seberapapun ahlinya, bukan?
Suatu ketika, kami menemukan calon korban yang—menurut kami— empuk. Seorang rektor tua yang bergelimang harta. Kami tak peduli asal-usul uangnya. Yang kami tahu dan pikirkan, lelaki itu sudah manula dan karenanya akan membuat semua jadi mudah.
Perampokan yang sederhana. Tak perlu ada jeritan atau cipratan darah. Simpel.
Namun kami salah.
Usia tuanya rupanya menyimpan kecerdasan. Dia memelihara ‘anjing-anjing’ yang tak bisa kami atasi. Pada 'misi' tersebut, kami bertindak sedikit ceroboh dan mereka memergoki. Aku berhasil lolos. Trimo, sayangnya tidak. Mereka menghajarnya ramai-ramai. Beberapa anggota Korps TNI yang mengabdi pada sang rektor mengerubungi Trimo seperti lalat mencumbu bangkai dan aku lanjut berlari.
Seminggu kemudian, Trimo menemuiku. Dia masih hidup dan mengatakan akan membalas dendam. Aku berusaha menebus kepengecutanku waktu itu dengan mengatakan mendukung rencananya.
Sepertinya mustahil menghajar balik para tentara sewaan itu. Tapi Trimo punya jalan keluar. Dia selalu punya jalan keluar.
“Aku punya kenalan dukun sakti, Ed. Ikutlah bersamaku. Dia akan mengajari kita ilmu sirep dan ilmu halimun.”
*
Berada dalam ruang sempit dan gelap sempurna dalam waktu yang lama tidak pernah baik. Aku mulai merasakannya. Aku merasa kondisi fisikku menurun seiring dengan semakin sedikit oksigen yang mampu masuk ke paru-paru. Pasokan udara ke otak menipis, membuat kepalaku terasa berat. Dadaku sesak, tubuhku bergetar; menggigil menahan himpitan kematian. Rasa takut mendera. Aku ingin berdiri tapi kepalaku selalu terantuk sesuatu. Kakiku merangkak kemudian dahiku membentur sesuatu yang lembek dua detik setelahnya. Aku ingin menangis. Dadaku serasa ingin meledak. Aku meraung!
“KELUARKAN AKU!!!”
Tiba-tiba kulihat ada sedikit terang dari bekas tanah yang tadi mengecup dahiku. Hanya cahaya kecil. Setitik cahaya yang membuatku girang. Setelah terpenjara dalam dua menit berselimut gelap yang menyiksa, apalagi yang lebih hebat dari setitik cahaya? Aku mengucap syukur disertai tarikan berat napas yang nyaris putus.
Kemudian sesuatu terjadi. Dari titik cahaya tadi bermunculan makhluk-makhluk sebesar kelingking. Warnanya putih, ada juga yang coklat. Dan hitam! Mereka muncul satu persatu dari lubang cahaya itu. Aku menghitung mereka dan tak ingat apa-apa lagi setelah hitungan ke-33.
Aku hanya berhasil menghitung tigapuluh tiga belatung.
*
Peluh dan rasa lelah menghinggapi badan kami berdua setelah kami berjibaku dengan kuburan yang baru saja kami gali. Trimo apalagi. Badanku yang kekar saja penat luar biasa, apalagi badan ringkihnya. Pikiranku mengusir bayangan betapa dia menderita ketika dikeroyok penjaga rumah si rektor.
Kusulut rokok untuk menghalau dingin. Asap putihnya menari-nari, berpagut dengan kelamnya malam. Malam Jum’at selalu saja dingin dan sunyi.
“Kuharap dukun gila itu tidak bercanda.”
Aku melirik wajah Trimo yang bersimbah keringat. “Mencuri gigi mayit dan menghirup udara dari mulutnya? Membayangkannya saja membuatku mual.”
Trimo memantik korek apinya. “Kau terbiasa melihat darah, kenapa mayat busuk itu menjadi masalah buatmu?” ketusnya. “Aku ingin menguasai sirep, melumpuhkan anjing keparat di sana dan menggasak brankasnya. Kupikir kita sependapat.”
“Ya ya ya. Kau benar. Kau selalu benar.”
“Hidupku takkan tenang sebelum dendamku terbalas.”
Aku diam. Aku mengerti. Dendam.
Kami lalu berdebat soal siapa yang harus menghirup mulut si mayit. Kami melempar koin. Trimo menang. Kami lalu menggotong mayit itu keluar dari kuburnya yang sempit. Lebih mudah melepas gigi si jenazah di atas karena lebih lapang. Kami bekerja dengan ditemani kerik jangkrik yang bersahutan. Gagak-gagak juga nampak gelisah dan berkaok-kaok. Suara-suara aneh terdengar di telinga kami. Trimo berkata padaku, mereka –burung gagak— hanya sedang risau melihat kita.
Segala kengerian itu tak seberapa jika dibanding apa yang akan kami dapatkan.
Dengan ilmu sirep, ilmu yang mampu menidurkan makhluk hidup secara gaib, kami bisa merampok siapa saja. Di mana saja. Siapapun penjaganya.
Dengan ilmu halimun, kami bisa membuat diri kami tak kelihatan oleh siapapun. Kami akan dikenang sebagai penjahat terhebat yang pernah ada di abad modern.
Setidaknya itu kata Trimo. Imajinasinya kelewatan.
Aku tak memercayai takhayul, tapi apa salahnya mencoba?
*
Dalam batas antara sadar dan tidak sadar, kurasakan sesuatu merayap; menggerayangi sekujur tubuhku yang kini terbaring. Aku ingin bangkit namun tubuhku terlalu lemah. Ratusan belatung keparat itu merembeti seluruh bagian tubuhku dan segera membasahi ragaku dengan lendirnya. Pekat, lengket, anyir.
Ketika paru-paruku semakin meronta meminta udara yang dibutuhkannya, di saat yang sama belatung itu menggigit kulitku. Suaraku telah habis. Aku hanya meringis menahan sakit. Inikah siksa kubur?
Kemudian sesuatu yang dingin, kasar namun runcing menggores wajahku. Refleks aku menoleh namun hanya hitam yang kulihat. Nyaris sedetik sebelum aku pingsan, seringai putih menyeruak di pekatnya alam.
“Selamat datang, Anak Adam nan Durjana. Waktunya menjawab sedikit pertanyaan.”
Apakah ini halusinasi?
Apapun yang sedang kualami sekarang, satu hal tak mungkin kuingkari.
Aku tahu siapa dia.
*
Trimo berdiri. Dia baru saja selesai melakukan ritual menghirup mulut mayit busuk itu. Dia benar-benar sudah gila, lebih gila dari dukun yang kami temui kemarin. Dukun yang mengusulkan agar kami membongkar kuburan mayit yang meninggal pada Jum’at Kliwon. Kami juga harus melakukannya pada malam Jum’at Kliwon, tepat tengah malam jika ingin bisa menguasai ajian langka sirep dan halimun. Selain itu kami harus mencabut gigi atas si mayit yang malang. Konon, gigi atas itu semacam jimat untuk pengguna ilmu tradisional tersebut dalam menjalankan aksinya.
Kami manut saja.
Kami capek jadi penggali kuburan yang miskin. Kami lelah jadi perampok amatir.
Dengan kedua ilmu jahanam tersebut, kami bisa kaya. Kami bisa menikmati masa tua dengan gelimang harta.
“Giliranmu, Ed. Hari sudah hampir pagi.”
Suara Trimo mengejutkanku. Aku ragu.
Kutatap tubuh kaku dan kotor yang berbalut kain mori lusuh itu. Wajah si mayit sudah hancur di makan belatung dan cacing. Tubuhnya juga sudah remuk. Ketika kami mengangkat jasadnya ke permukaan, kami merasa menggotong tumpukan tulang-belulang.
Aku menggeleng. “Aku tidak bisa, Mo. Aku tidak bisa menghirupnya.”
“Kau yakin?” Trimo berdecak. “Aku sudah. Sekarang giliranmu. Kau tak akan mati hanya karena mencumbu mayit.”
Aku tahu.
Tapi orang waras macam apa yang mencium mayit?
“Kita masih harus menguburkan mayit ini lagi, Edi. Bergegaslah.”
Badanku terasa kaku.
Aku merunduk ke wajah jenazah di depanku. Kupandang sederet gigi coklat yang tak lagi terlindung bibir yang telah hancur. Mataku terpejam. Aku harus melakukannya.
Bibirku nyaris menyentuh gigi si mayit ketika perutku memberontak, isinya mendesak-desak ingin keluar. Rasa hangat segera mengalir sepanjang kerongkongan tanpa bisa kucegah.
Muntah dengan luar biasa membuatku terhuyung, tubuhku lemas. Rasa mual datang terus-menerus sampai-sampai aku mengotori bajuku sendiri karenanya. Di antara sayup-sayup kokok ayam yang menyambut dinihari, kudengar tawa menghina dari Trimo.
Dia menertawakanku!
Saat itulah, tiba-tiba Trimo mendorongku sekuat tenaga dari belakang. Tubuhku terjerembab ke dalam galian, tak sanggup bangun saking lemasnya dan semakin buruk karena sepertinya tanganku patah.
Aku terperangkap dalam lobang sempit kuburan. Tak kuingat apa-apa lagi selain derai tawa Trimo disertai hamburan tanah dan serpihan papan dari cangkulnya.
“Akhirnya dendamku terbalas, Ed.” Trimo tertawa. “Selamat menikmati penderitaan di saat akhir hidupmu. Kau seharusnya menemaniku saat dikeroyok dulu jadi aku tak perlu membunuhmu.”
Aku terperangah. Sesak. Ternyata selama ini aku salah menafsirkan dendamnya.
Penyesalan selalu saja datang menjelang kematian.
Aku ada di antaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar